PWNU Banten News

Pada Kampus yang Tak Lagi Mangkus


Pada Kampus yang Tak Lagi Mangkus 
Oleh: Soffa Ihsan

Pada sebut saja Joni, geledah dunia kampus saya awali. Sebelum berjejaring dengan kelompok teroris yang melakukan amaliyat bom buku, Joni adalah mahasiswa jurusan Aqidah dan filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kuliahnya diselesaikan dengan skripsi tentang Ibnu Rusyd, filsuf muslim Andalusia yang dikenal sangat rasional. Disamping kuliahnya dibidang filsafat yang--oleh ulama seperti Ibnu Sholah haram dipelajari ini--Joni di kampungnya di sebuah daerah di Bogor dikenal pemuda yang aktif. Dia dikenal berotak encer dan tangkas dalam beraktifitas baik di kampus maupun di kampungnya. Hingga dia menamatkan ‘kuliah’ keduanya di ‘Nusakambangan’ selama beberapa tahun, Joni kembali ke kampung halamannya. Kini dia mendirikan sekolah untuk menampung anak-anak di desanya. Ya, Joni tampaknya sosok pemuda yang tak bisa berdiam diri. 

Sejawatnya, Toni adalah lulusan kampus yang sama hanya beda fakultas. Toni belajar di Fakultas Adab hingga selesai. Toni satu jaringan dengan Joni dan keterlibatannya dalam aksi terorisme dibawah ‘satu level’ dari Joni. Sekeluar dari ‘kuliah’ keduanya di Lapas Cipinang selama beberapa tahun, sekarang Toni bekerja ngojeg. Pada suatu waktu, Toni mengungkapkan isi hatinya pada saya. Dulu sewaktu dia ditangkap Densus 88, tepat saat dia hendak beli rokok yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumahnya. Sontak orang tua dan warga kampung sekitarnya geger. Sama sekali tidak mengira kalau Toni yang tadinya ‘anak gaul’ ini terjerumus dalam jejaring terorisme. Inilah musababnya, orang tuanya masih sangat trauma dan kecewa terutama karena dulunya mengharap setelah jadi sarjana, Toni bisa bekerja sebagai pengajar. Kini, harapan itu pupus sudah.

Loh, tiba-tiba kok ngubek-ngubek kisah Toni dan Joni ini, dari mana jluntrungnya? Saya jadi tercubit setelah muncul kembali gegeran kampus terkait radikalisme. Banyak yang miris, radikalisme sudah merambah di banyak kampus. Berbagai penelitian membongkar kampus-kampus ternama khususnya kampus umum seperti IPB, ITB, UGM, UI, ITS dan lainnya  yang tak sedikit mahasiswa bahkan dosennya yang terpapar radikalisme. Kasus teranyar adalah terkuaknya dosen IPB yang terlibat dalam perakitan bom untuk memantik rusuh saat terjadi demo-demo barusan berselang. Hadeeh, gonjang-ganjing apa pula ini! Civitas akademika yang sejatinya kelompok kritis terbukti tidak mempan dari terinfeksi ‘virus’ paham radikal.

Tapak Jejak 'Penghijauan' di Kampus
Kampus dan radikalisme tampaknya bukan lembaran baru. Sejak radikalisme merekah di bumi pertiwi  nyaris  semua ranah dan level tidak kalis dari gempurannya. Dan dunia pendidikan termasuk menjadi sasaran utama untuk dirasuki radikalisme. Seperti strategi idiologi lain, Islam radikal tidak akan mengabaikan peran kaum terpelajar dan akademisi kampus untuk direkrut. Strategi  dengan merekrut kaum terpelajar dipandang jitu, maka berlaku ‘teori domino’, pegang yang ‘otak’ dulu, maka yang ‘otot’ akan tersodok.

Ini mengingatkan saya pada pandangan Max Adler, filsuf Marxis asal Austria tentang peranan kaum terpelajar dan intelektual dalam revolusi sosialisme.  Menurutnya, kaum intelektual bukanlah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri yang Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas, tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. 

UNS Solo adalah salah satu ‘the legend’ di percaturan radikalisme yang kala itu dikuasai NII. Kebayang bak aksi kartel narkoba di Kolombia, pernah terjadi penembakan, terhadap Parmanto MA, wakil rektor UNS. Lalu berlanjut eksekusi tembak di tempat terhadap Hasan Bauw ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Keduanya yang anggota NII ini dianggap membocorkan gerakan NII. Pelakunya adalah benggolan NII, yaitu Warman yang dikemudian hari dikenal dengan “teror Warman’. Paska eksekusi Kartosuwiryo, NII belum lumpuh, justru bangkit lagi. Melalui pertemuan Situaksan di Bandung tahun 1971, gerakan NII bergerak lebih masif termasuk menginfiltrasi kampus-kampus. 

Ibarat tanah persawahan, Yogyakarta dan Solo adalah  lahan subur untuk menanam dan memanen gerakan NII. Saat itu, beberapa kampus seperti IAIN, UII, IKIP dan UGM  tidak sedikit yang ‘memasok’ mahasiswanya bergabung di NII. Melalui cashing kelompok Usroh, dikemudian hari melahirkan figur-figur ‘legendaris’ seperti Muchliansyah, Fihiruddin, dan Irfan Suryahardi serta masih banyak lainnya.

Metaformasi gerakan penjaut NII yang mewadag dalam Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Anshorud Daulah (JAD) juga melibatkan mahasiswa dan alumnus kampus. Heboh demi heboh terus mengguyah. Hebob kasus 3 mahasiswa yang menyembunyikan buronan teroris Saefuddin Zuhri alias Muhammad Sahrir di kosnya tahun 2009. Pepi Fernando alumnus UIN Syarif Hidayatullah terlilit tindak pidana terorisme rencana bom Serpong dan bom buku. Bahrun Naim dalang bom Sarinah 2016 adalah alumnus UNS. Ada lagi Zainal Anshori salah satu gembong JAD juga alumnus UIN Sunan Kalijaga yang merencanakan serangan pada polisi di Tuban, Jatim.

Heboh kasus pengibaran bendera HTI di UIN Sunan Kalijaga pada 2018 sempat mengagetkan. Lebih heboh lagi, deklarasi dan pembaiatan ISIS oleh Forum Aktifis Syariat Islam (FAKSI) di sebuah wisma lingkungan UIN Syarif Hidayatullah.  Heboh yang tak terduga pula, terjadi  di Universitas Negeri Riau pada 2018.  Ada 3 mahasiswa Fisip UNRI yang ditangkap atas tuduhan membuat bom yang direncanakan untuk melantakkan gedung DPR RI di Jakarta.

Heboh terbaru, dan baru pertama kali terjadi pada pejabat negara adalah penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto oleh Syahril Alamsyah dan Fitri Andriani di Pandeglang. Usut punya usut, Syahril alias Abu Rara kelahiran 1988 asal Medan Deli ini yang dulunya hobi judi togel, lalu terinfus doktrin radikal lewat medsosnya Abu Zee Ghuraba, dan masuk jaringan JAD Abu Qutaibah Bekasi ini, kabarnya sarjana hukum. 

Dan kini, yang mumbul di lingkungan kampus lebih menampil ‘radikalisme elegan’. Yang penting ‘penghijauan’  terus digalakkan diranah infrastruktur dan jaringan dengan dalih awal agar kampus tidak ‘gersang’. Demi itu, usaha masif dilakukan dan katakan berhasil. Di kampus IPB misalnya sudah dibolehkan dosen mengajar pakai gamis dan berjenggot laiknya ustadz. Lalu ada pemisahan klas laki-laki dan perempuan serta sederet aturan yang terus jadi ‘panggilan jihad’ untuk diberlakukan selaras tafsir puritan. Maka tak heran, tetiba ada pernyataan mengejutkan dari petinggi sebuah kampus kenamaan di Bandung bahwa Indonesia seharusnya jadi negara Islam. 

Kisah di Kampus Biru
Saya teringat masa-masa ‘pergolakan’ saat menjadi mahasiswa di kampus yang dikenal dengan sebutan ‘Kampus Biru’. Mumpung ada kesempatan dalam berbanjar aksara ini, kok pingin menyingkap ‘CLBK’ alias ‘Cerita lama Bersemi kembali’. Awal-awal kuliah, saya sempat aktif di sebuah jamaah kampus yang markasnya di gelanggang mahasiswa. Namanya mahasiswa baru yang masih plonga-plongo, ditambah  masa-masa ‘puber’ keagamaan, saya diajak teman untuk aktif, ya hooh saja. Secara berkala, saya ikuti kajian yang banyak mengupas tentang gerakan Ikhwanul Muslimin berikut tokoh-tokohnya seperti Hassan al-Banna, Yusuf Qaradhawi, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Muhammad Qutub, dan lainnya. Saya beruntung punya ‘prestasi’ sempat didapuk oleh pengurus jamaah untuk mengikuti pertemuan ASEAN Moslem Social Scientist  di lembang. Pernah pula, saya terpilih menjadi ketua seminar nasional tentang gerakan Islam yang mengundang beberapa cendikiawan Muslim tersohor. Dan kini diantara cendikiawan itu ada beberapa yang wajahnya masih sering nampang di media dan dikenal vokal. Afwan, ana tidak perlu bocorkan, takut pitnah! 

Senyampang masa,  ternyata jamaah tersebut berreinkarnasi menjadi sebuah partai Islam yang konstituennya dikenal militan. Waduh, seandainya saya dulu istiqamah aktif, saya mungkin sudah punya ‘posisi’ mengkilap, ha ha, Masak sih! Untung, lantaran dulu itu saya termasuk mahasiswa yang suka gelisah, jadinya saya mudah loncat-loncat dari satu kelompok ke kelompok lain. Pokoknya, kanan, kiri dan tengah pernah saya singgahi. 
Sedikit cerita, sekeluar dari jamaah tersebut, saya aktif dalam semacam limited group yang spesialis mendiskusikan pemikir-pemikir dan filsuf. Kerjanya cari buku, baca, tulis dan presentasi dalam diskusi terbatas. Lagak-lagaknya ingin jadi pemikir klas berat, amit-amit.  Saya juga sempat mendirikan bersama teman lain sebuah perkumpulan mahasiswa muslim di fakultas untuk kembali ke jalur Islam tradisional supaya lebih ‘basah’. Di perkumpulan itu, saya sempat kenalkan kajian kitab kuning pada teman-teman yang biasa diadakan di mushola fakultas. Saya lalu diminta untuk mengajar. Saya ingat betul, kitab yang saya ajarkan kitab khas pesantren, yaitu kitab al-Minah al-Saniyah yang membahas seputar tasawuf. 

Pengalaman saya selama melakoni mahasiswa di Ngayogjakarta Hadiningrat ada cukup kisah tentang‘hijrah’ dikalangan mahasiswa. Pernah ada mahasiswa baru di fakultas saya sebut saja namanya Bowo. Orangnya tinggi semampai, rambut gondrong dan rokoknya klepas-klepus kayak sepur. Setelah usai mengikuti Ospek, barulah ada penjaringan untuk menarik mereka di perkumpulan yang saya di dalamnya. Dan Bowo berhasil ‘digondol’ masuk ke perkumpulan saya. Suatu waktu, dalam rangka peringatan hari besar Islam, yaitu Maulud Nabi, diadakanlah kegiatan diskusi. Bowo ditunjuk sebagai ketua panitianya. Dengan agak canggung dan salamnyapun plitat-plitut alias tidak fasih blas, Bowo sukses juga mengkordinasi acara dari mulai urusan sekretariat, dekorasi, mendatangkan pembicara sampai peserta yang cukup membludak. Setelah itu, Bowo masih cukup aktif dalam diskusi keislaman. 

Namun, seiring waktu, entah ada godaan Genderuwo atau Kuntilanak, tiba-tiba Bowo sudah jarang bahkan sama sekali tidak pernah nongol di sekretariat dan mushola. Selidik punya selidik, Bowo tergeret aktif di kelompok mahasiswa kiri, PRD. Dia aktif demo dan gerilya untuk melakukan kegiatan klandestinnya. Bahkan Bowo menjadi target Tim Mawar untuk diculik, walaupun dia selalu lolos. Katanya, dia selalu pindah-pindah tempat untuk menghindar aparat. Saya berpikir, Bowo tampaknya lebih nyaman dalam kelompok yang revolusioner. Tahun 2009, saya  bertemu Bowo  di Jakarta dan sempat nonton gelar musik rock progresif kelompok Discus di Teater Salihara. Dia juga sempat main ke rumah saya. Dengan menaiki honda city, dan rambutnya yang masih panjang menjuntai, Bowo ngobrol sama saya. Saya lihat dia masih ‘idiologis’. Setelah ‘bertikam kata’, saya lalu nimpali,”Kamu ini kiri tapi kok mobilmu keren.” Dia hanya terkekeh. 

Ini contoh eksodus dari kanan ke kiri. Kalau yang sebaliknya, sayapun juga punya pengalaman bertemu dengan teman saya—sebut saja Roni--yang dulunya sangat kiri. Setelah baca-baca buku gerakan Islam khususnya ikhwanul muslimin, mendadak dia pindah haluan. Dia lahir dari keluarga ‘abangan’ dan setelah menjadi mahasiswa dia aktif di gerakan kiri. Namun tak lama, dia aktif di jamaah keislaman yang saat itu cukup kuat di kampus biru. 

Ada juga teman sekampung, yang sejak masuk IPB dia aktif di HTI. Dia lahir dari keluarga Islam tradisional. Ngajinya di kyai-kyai langgar di kampung saya. Setiap lebaran, dia selalu main ke rumah saya. Dalam obrolan, dia selalu menunjukkan kehebatan idiologi khilafahnya dan mengajak saya untuk aktif. Tapi, karena iman saya dah tebal, saya terlindungi dari godaan paham yang terlarang. Akhirnya, dia bosan sendiri dan jarang ketemu lagi. Saya dengar setelah dia meraih doktor bidang IT dan mengajar di sebuah kampus bergengsi di Jakarta, dia malah semakin menjadi-jadi menyuarakan paham khilafah-nya. Di WAG, dia sering mengasong idiologinya dan tak jarang berdebat dengan teman-teman lain.

Yah rupa-rupa warnanya. Pertemuan saya dengan orang-orang di kampus dengan segala petingkahnya, membuat saya makin ‘dewasa’  bahwa ada yang ‘tak beres’ dengan kampus kita. Satu sisi, mahasiswa yang model kuliahnya ‘umbaran’, yang penting absensi mencukupi kuota supaya bisa ikut ujian. Di sisi lain, ada  standarisasi mahasiswa yang ‘sangat formalis’ dengan mendewakan nilai. Saya kira mungkin ini salah satu sebab mahasiswa merasa ‘tersandera’. Lalu, banyak mahasiswa yang lebih memilih menjadi aktivis. Mereka mencari ruang-ruang yang lebih ‘revolusioner’ ketimbang hanya berasyik-masyuk dengan diktat kuliah. Dan manakala ada tawaran ‘idiologi implan’ rasa baru, maka mudah terpesona. 

Indonesia mungkin tidak bisa tumbang hanya gegara radikalisme. Tapi, Indonesia bisa tergerogoti karenanya. Ibarat penyakit diabetes, radikalisme pelan-pelan melemahkan organ-organ tubuh yang vital yang akhirnya lunglai dan bisa-bisa ujungnya stroke. Nah, dalam kondisi gontai, tiba saatnya para ‘penyamun  idiologi’ bersitegap gerak. Mereka tampil bagai ‘tabib’ dengan mengusung ‘idiologi langit’. Dan kelak langit Indonesia tak lagi cerah menyungging senyum penuh warna.   

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi untuk eks napiter.

Tidak ada komentar