PWNU Banten News

Negeri ini Masih Berlumur Rusuh


Negeri ini Masih Berlumur Rusuh 
Oleh: Soffa Ihsan

Negeri ini sedang mengalami ‘age of anger’ yang memberantakkan kedamaian dan stabilitas. Ke depan tampaknya masih menyorong ontran-ontran yang menghadang. Gegara gegeran politik membuat keterbelahan terpantik. Ada saja ‘perusuh dadakan’ yang hendak mengacaukan suasana. Pada demo berkafilah-kafilah yang menolak berbagai RUU, tetiba muncul ‘jaringan mandiri’  yang menyiapkan bom molotov untuk memuntah gaduh. Lahir figur-figur baru yang mengejutkan. Ya, tak hanya precil-precil yang berlaga, tapi juga punggawa. Protes-protes paska Pilpres 2019 masih terus membentak yang memproduksi para penggaung ‘gacor’-nya bukan main nyaringnya hingga selayak perang. Gerak ‘susup-menyusup’ dan ‘saling ngeles’ seolah sudah tradisi setiap ada ‘hajatan akbar’. Kekacauan pernah memuncak pada 22 Mei 2019 yang berdarah-darah.

Ketegangan Pilpres 2019 hanyalah ekses sebelumnya. Semua bermula dari partisipasi besar-besaran dalam kampanye 2016 untuk menjatuhkan gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.  Kasus tuduhan penistaan agama menjadi bumerang mematikan bagi kelengserannya dan berlanjut kutub-mengkutub masyarakat hingga kini  Ini sekaligus menunjukkan bahwa kaum Islamis tidak sekuat kekuatan politik seperti yang kadang-kadang digambarkan atau setidaknya ada batas kesediaan mereka untuk digunakan oleh para politisi. 

Fakta ini juga menunjukkan seberapa banyak hubungan antara Islamis dan negara telah berubah dalam hampir tiga tahun sejak kampanye anti-Ahok yang sejurus kemudian menghasilkan demonstrasi jalanan terbesar dalam sejarah Indonesia modern pada 2 Desember 2016, yaitu lahirnya  "Gerakan 212". Banyak kalangan bahkan terkejut oleh mobilisasi besar-besaran dan terlihat pemerintah tidak memiliki strategi untuk menanganinya.

Belajar dari sini, pada saat Pilpress 2019, pihak berwenang telah memutuskan bahwa Islam radikal merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi keamanan negara. Lalu ada upaya menuangkan sumber daya yang besar untuk mengecilkan mobilisasi, termasuk melalui intimidasi dan penangkapan. Pendekatan konfrontasi baru mengubah kalkulus risiko bagi banyak Islamis.   

Kesediaan pihak keamanan untuk meningkatkan penggunaan dakwaan pidana terhadap kaum Islamis dan para pemimpin oposisi lainnya adalah bagian dari strategi pemerintah yang lebih luas yang bertujuan untuk mencegah keterlibatan dalam demo. Ini termasuk peningkatan pemantauan dan penumpasan, berlanjut tindakan keras terhadap medsos lebih ketat dari biasanya. Seperti halnya pengetatan izin untuk pertemuan publik dan kampanye terpadu untuk menghentikan "politisasi masjid".

Pihak berwajib juga meningkatkan alarm terorisme, menangkap lusinan tersangka yang menurut mereka berencana menggunakan demo yang direncanakan sebagai kedok untuk melancarkan serangan. Klaim itu disambut dengan skeptisisme yang luas karena tampaknya terlalu nyaman. Setelah menggunakan begitu banyak taktik lain untuk mencegah partisipasi dalam demo, mengapa tidak melempar kekuatiran tentang serangan teroris juga. Ancaman itu memang nyata, sekalipun pihak kepolisian kadangkala menutupi berapa banyak dari mereka yang ditangkap.

Sel-Sel Lama Rasa Baru

Belakangan di negeri ini sepertinya berlaku rumus; ada perhelatan ada kerusuhan. Kita belajar dari Pilpres 2019, banyak ‘siluman’ yang hendak bermain di air yang keruh. Dari momen ini pula, terbongkar jaringan dan ‘sel-sel tidur’  yang terbangun lalu berganti kulit hendak menunggang di saat tegang. 

Dalam laporan IPAC (23 Juli 2019), terwedar fakta bahwa sebelum kerusuhan 22 Mei, dari 2 hingga 21 Mei 2019, Densus 88 sigap melakukan ‘seek and destroy’  dengan menangkap 41 tersangka teroris, termasuk 15 orang yang terlibat dalam perencanaan kekerasan yang terkait dengan demonstrasi. Polisi kuatir bahwa beberapa yang lain akan mencoba mengeksploitasi demo 22 Mei. Pada demonstrasi anti-Ahok pada 4 November 2016, sebuah kelompok pro-ISIS dari Jakarta, dipimpin oleh Abu Nusaibah, mencoba untuk memprovokasi kekerasan agar para anggotanya dapat merebut senjata dari polisi dalam kekacauan berikutnya. Upaya itu gagal dan Abu Nusaibah serta 11 lainnya ditangkap. 

Kelimabelas yang terkait dengan plot aktual milik dua sel pro-ISIS yang terpisah dan tidak terkait yang tidak saling berkomunikasi. Satu terdiri dari mantan anggota Jamaah Anshorud Daulah (JAD) dari Bekasi dan Lampung yang dipimpin oleh Dede Yusuf alias Bondan. JAD adalah aliansi pro-ISIS terbesar di Indonesia. Yang kedua adalah kelompok non-JAD yang menyebut dirinya Partisan Negara Islam, yaitu Lingkaran Depok, dipimpin oleh Benny Gunawan alias Bowie alias Abu Nafla. Kedua kelompok diilhami oleh fatwa jubir ISIS April 2018, yaitu Abu al-Hassan al-Muhajir kepada para pendukungnya di Irak untuk menyerang tempat-tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung di sana pada bulan Mei. Al-Muhajir menyarankan bahwa siapa saja yang ikut dalam pemungutan suara akan dianggap murtad dan menjadi target jihad yang sah. Pidatonya, yang banyak beredar di medsos, mendorong para pendukung ISIS Indonesia untuk merencanakan serangan pada masa pilpres di Indonesia.

Yusuf alias Bondan, yang memimpin sel Bekasi, adalah mantan anggota cabang Darul Islam-Negara Islam Indonesia (DI-NII) yang lebih besar di Jakarta. Dia alumnus  pesantren yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI), Pesantren Al-Mutaqin di Jepara, Jawa Tengah dan dengan jaringan awal NII, lalu menjadi seorang juru dakwah setelah dia lulus. 

Pada 2017, ia terpesona ISIS karena keberhasilannya dalam mendirikan negara Islam di Suriah dan Irak. Dia memutuskan untuk bersumpah setia kepada Abu Bakar al-Baghdadi dan lalu  bergabung dengan  JAD di Bekasi. Namun pada tahun 2018, JAD benar-benar dilemahkan, pertama oleh pengadilan yang memutuskan bahwa JAD adalah organisasi terlarang dan kedua akibat serangkaian penangkapan. Ini termasuk penangkapan amir JAD Bekasi, Iswahyudi, pada Agustus 2018 atas tuduhan pendanaan terorisme. 

Dede mengumpulkan anggota JAD Bekasi yang tersisa, membentuk sel independen baru dengan tujuan melakukan operasi jihad kekerasan dan mulai merekrut anggota baru. Diantara rekrutannya adalah Eki Yudistira Wijayanto alias Rafli. Rafli memiliki toko telepon seluler bernama Wanky Cell. Dia juga pernah belajar farmasi di perguruan tinggi, yang berarti dia memiliki pengetahuan dasar tentang bahan kimia. Dede memutuskan bahwa waktu terbaik untuk serangan adalah sekitar pemilu, pertama karena fatwa al-Muhajir, dan kedua karena Dede yakin akan ada bentrokan antara pendukung dua kandidat, terlepas dari siapa yang menang. Dalam lingkungan seperti itu, aksi terorisme bisa menjadi pemicu untuk mengubah gangguan kecil menjadi kerusuhan besar yang akan membuka pintu bagi jihad.

Kelompok tersebut enggan menggunakan bom bunuh diri, karena mereka membutuhkan semua sumber daya manusia yang bisa mereka kumpulkan. Selain itu, mereka tidak ingin melakukan operasi sekali pukul. Mereka ingin melakukan serangkaian serangan ‘berpukul-pukul’, dan karenanya mereka  membutuhkan lebih banyak orang. Maka, Dede mulai membentuk sel kedua, menarik beberapa mantan anggota JAD Lampung termasuk mantan amir, Solihin. Dede meminta Rafli untuk mempelajari cara membuat bom TATP yang diledakkan dari jarak jauh. Dede punya pengetahuan kimia dan keterampilan dasar tentang elektronik yang diperoleh dari pengalaman servis ponsel. 

Pada April 2019, semua bahan sudah tersedia untuk bom yang bisa diledakkan lewat Wifi. Dede Yusuf lalu mulai berdiskusi dengan anggotanya tentang kapan dan di mana harus menyerang. Mereka melihat demo 22 Mei yang direncanakan sebagai waktu dan tempat yang tepatdimana banyak berkumpul para pendukung demokrasi yang thoghut. Namun, Detasemen 88 keburu mengendus  rencana mereka, dan antara 4 dan 14 Mei, menangkap Solihin, Rafli dan Dede. Dede Yusuf  mengakui perannya melalui video yang ditunjukkan pada konferensi pers polisi pada 17 Mei. 

Jihad Dede Yusuf bukan satu-satunya yang merencanakan serangan pada 22 Mei. Antara 17 dan 20 Mei. Densus 88 juga menangkap tiga anggota sel yang berbeda yang secara terpisah merencanakan serangan terhadap Bawaslu pada 22 Mei. Kelompok ini dipimpin oleh Benny Gunawan alias Bowie alias Abu Nafla, seorang manajer situs yang dibayar mahal untuk sebuah perusahaan konstruksi. Bowie adalah murid lama Abdullah Sunata, seorang residivis yang menjalani hukuman pidana terorisme kedua untuk perannya pada tahun 2010 dalam mendirikan sebuah kamp pelatihan teroris di Jantho, Aceh. Setelah pengajian pro-ISIS pertama  yang didirikannya porak-poranda oleh geledah polisi, Bowie mencari orang lain untuk bergabung.

Pada akhir 2016, ia dan seorang pendukung ISIS dari Depok mendirikan sebuah kelompok pengajian dibawah kepemimpinan Bowie. Beberapa mantan anggota Firqah Abu Hamzah (FAH) bergabung, termasuk Endang alias Rafi alias Pak Jenggot. Kelompok pengajian yang  menyebut Ansharul Daulah Halaqoh Depok, awalnya berfokus pada taklim agama dan pelatihan semi-militer termasuk memanah, berenang dan hiking. 

Tidak ada anggota yang sebelumnya terlibat dalam terorisme. Baru pada akhir 2018, Bowie mengangkat topik serangan jihad. Dia menjadi tertarik setelah mengetahui bahwa Endang, melalui serangkaian percobaan rahasia menggunakan manual yang diposting oleh operator ISIS Indonesia Bahrun Naim dan Midhat Mursi Mesir, telah berhasil membuat bom TATP. Dia juga belajar cara membuat bom dari nitrogliserin. Bowie meminta Endang dan teman lainnya, Muhammad Sahdi untuk merencanakan serangan di sekitar tempat pemilihan yang mereka anggap sebagai thoghut.

Mereka memutuskan melakukan serangan bunuh diri pada 22 Mei 2019, dan target mereka adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mereka lihat sebagai ikon sistem demokrasi. Bowie menawarkan Sahdi dan Endang kesempatan untuk menjadi martir, namun mereka berdua tidak cukup berani. Akhirnya, Bowie sendiri memutuskan untuk melakukan amaliyat itu. Bom dipersiapkan pada Mei, tetapi sekali lagi, Detasemen 88 mendeteksi rencana mereka, dan pada 17 Mei, mereka menangkap Endang. Bowie dan Sahdi sendiri ditangkap dua hari kemudian.

Ya, para Isiser tetap tak mau takluk. Mereka yakin bahwa Indonesia bisa ‘direbut’ hanya dalam keadaan kacau dan konflik sosial merajalela. Ingat, ketika kerusuhan sosial berbau SARA di Tanjung Balai, para Isiser sontak bergerak menciptakan kerusuhan serupa di wilayah lainnya di Indonesia, kendati buntung. Tak ayal, memainkan sentimen keagamaan memang strategi yang tokcer untuk adu domba laiknya di Suriah. 

Cara Mandul, Gerakan Bersusul

Bagi kaum Islamis, kecurangan pemilu hanyalah ‘jembatan’ untuk serangan mereka terhadap sekularisme, liberalisme, pro-komunisme dan ketidaksetaraan yang menurut mereka telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Tidak mudah memang untuk menerjemahkan kekuatiran ini ke dalam pengertian ancaman darurat yang akan membuat orang unjuk rasa. Ahok adalah target sempurna pada 2016, tetapi kampanye Prabowo terlalu politis untuk melibatkan kaum Islamis dengan cara yang sama. 

Bagaimana saat pelantikan Jokowi nanti? Banyak kalangan yang mengingatkan untuk mewaspadai ancaman terorisme jelang pelantikan Jokowi. Situasi saat ini yang sarat kemarahan bisa menjadi ‘pelatuk’ ancaman dan tindakan. Keberadaan JAD masih bertaji, dengan pasokan anggotanya yang bergerak secara misterius. Tak hanya jaringan teroris, mereka yang merasa kecewa berat pun bisa ‘mendadak martir’. Para ‘pelakor’ yang ‘merebut’  militansi dari kombatan kian garang dan beringas. Tak ada ‘produk gagal’  dalam kamus pelakon teror.

Negeri ini harus tetap tegak bersama kepemimpinan yang sudah terpilih secara demokratis. Maka yang harus diperhatikan di masa kepemimpinan Jokowi kedua ini adalah perlu berhati-hati dalam meredakan mereka yang intoleran. Pemerintah perlu memastikan tekad baru  untuk mengambil garis yang lebih keras melawan narasi kebencian dan ekstremisme. Keputusan lebih bergerigi melawan ekstremisme memang sudah saatnya. Akan tetapi, langkah itu tidak boleh dilakukan dengan cara yang memberi kesempatan kaum Islamis alasan baru untuk persatuan.

Penulis hanya seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eks Napiter

Tidak ada komentar