PWNU Banten News

Beriman Rasa Amarah


Beriman Rasa Amarah  
Oleh: Soffa Ihsan

Sedikit-sedikit marah, marah kok sedikit, ini lawakan Asmuni grup Srimulat yang dulu begitu populer dan tetiba jadi terngiang kembali. Dan hari-hari ini tampaknya apa yang dicandakan oleh pelawak dengan kumis kayak Charlie Chaplin ini menemukan momentumnya. Saat ini, kemarahan terlihat begitu cepat tertumpah.  Banyak yang gampang meriang, kejang dan lalu marah. Sedikit ada isu yang sering belum jelas, maka seketika marah menguar-nguar. Ya, seakan kita hidup dalam ‘peradaban marah’.

Demo-demo merebak, tetanda ada amuk kemarahan. Di alam demokrasi, seakan demo menjadi ‘keharusan’  bahkan bisa ‘dibuat-buat’. Daripada plonga-plongo di rumah, mendingan ikut demo, kata seseorang yang tak sengaja bertemu dengan saya mengungkapkan uneg-unegnya. Demo memang menjadi pantulan ekspresi dan respon yang kritis. Demo di alam nyata memang tidak saban hari. Tapi, yang namanya demo-demo di ‘dunia lain’ tepatnya di dunia maya suasana ‘padat merayap’, jarang yang ‘ramai lancar’. Jalanan di medsos sudah begitu berisik dan  menjadi sebuah ‘mob’ gerombolan yang siap menghunus apa saja demi membela apa yang mereka yakini benar dan menguntungkan.

Terlebih soal yang yang menyangkut agama atau setidaknya menyerempet  irisan darinya, bagai api dalam sekam, mudah tersulut amarah. Demo offline dan online, hujatan, cacian dan semua sumpah serapah keluar begitu entengnya, betapapun isu yang mengemuka belum tentu sebagaimana diopinikan.

Sindrom Phobia
Menekuri fakta giris itu, banyak orang termasuk saya sendiri lama-lama menjadi ‘takut’ bicara agama. Rasa-rasanya hal hal yang berserempetan dengan agama menjadi riskan dan bisa-bisa menimbulkan petaka. Loh kenapa? Coba kita pelototi ceramah-ceramah dan debat agama. Masing-masing sudah menggunakan dalil yang dianggapnya sahih, masih saja dibantah dengan dalil yang katanya lebih sahih. Apalagi kalau di arena debat agama, semisal soal perbuatan bidáh atau debat antar sekte agama semisal Aswaja dengan Syiah, wow banyak dalil yang bersahutan. Semua menganggap dalilnya sebagai petunjuk yang paling benar. Jangankan yang masalah berat dalam bidang agama, hal-hal yang sudah menjadi ritual keseharian seperti shalat, itupun masih banyak yang memperdebatkan mana yang sesuai dengan shalatnya nabi, shollu kama roaitumuni usholli.

Di era medsos ini begitu banyak menampil para ahli agama baik untuk berceramah maupun untuk adu argumentasi. Mereka sepertinya terpanggil untuk ‘meluruskan umat’ yang selama ini dilihat mereka sudah jauh melenceng dari ajaran aslinya. Jadinya, tampil berdakwah bukan untuk ‘menenangkan’ pada masyarakat, tetapi sudah melebihi ‘pakem’ yang ada sehingga kerap menimbulkan gaduh.

Seorang teman satu kampung yang kini menjadi wirausahawan sukses barusan berselang main ke rumah saya. Lama tak jumpa, membuat suasana jadi hangat dan penuh canda tawa. Usai kelakar ngalor ngidul, tiba-tiba dia bertanya pada saya, apakah orang yang sudah menjalankan agama seperti shalat dan dia sudah menjadi orang baik, minimal tidak pernah menyakiti orang lain, kok masih ditunjuk-tunjuk ‘akidah’-nya melenceng sehingga harus diluruskan. Orang sepertinya hanya dilihat dari ‘kepalanya’, tidak sekujur tubuhnya. Saya yang terumpan dengan pertanyaan ‘sederhana tapi kritis’ itu, mendadak bungkam sejenak. Saya menyadari, rasaan seperti ini sedang berkecamuk pada mereka yang masih punya daya kritis dalam menanggapi ujaran dan ajaran yang dikhotbahkan pada pengusung dakwah.  

Belum lagi yang terkait dengan urusan ‘jihad’ tak sedikit para pendakwah dan mentor-mentor idiologis yang mengajak untuk berjihad dari yang ‘jihad minimalis’ sampai yang ‘jihad maksimalis’. Duh, jadinya ‘bingung-bingung dibuatnya’, menyitir syair lagu ‘Perdamaian’ dari Nasyida Ria. 

Coba kita telusur di dunia jihadis, mungkin tambah bisa membikin gamang dan absurd. Bagaimana menatapi cara pandang yang menghinggapi jihadis, kayaknya butuh asupan pikiran yang bisa menguatkan pikir. Ada kawan saya eks napiter, dia dengan bangga mengatakan dulu sewaktu dia diajak untuk berjihad, langsung dia sangat gembira dan terbayang indah kematian dalam kesyahidan. Beruntung, dia masih hidup dan kini dia jualan martabak. Rata-rata para jihadis mempunyai pola pikir yang demikian. Kematian dalam berjihad sangat diimpikan. 

Belakangan ini, kalau mau diteliti tak sedikit orang yang mengeluh tentang eksistensi agama yang begitu mudah menjadi pemicu ricuh. Kenyataan seperti ini bisa menimbulkan ‘phobia’. Jangan lebay dulu! Maksudnya, dengan terjangkitinya sindrom tersebut bukan lantas mencemooh agama, tapi kekuatiran akan membuat agama menjadi kehilangan ‘taji’-nya. Banyak keluhan ini muncul dari  mereka yang tergolong generasi ‘jadul’. Bagaimana pula yang dirasakan generasi ‘genial’ bisa-bisa terombang-ambing oleh kebingungan. Misalnya menonton ustadz yang sukanya memaki-maki, menyampaikan agama yang seolah hanya sebagai ‘ancaman’ melulu seperti soal ‘akhir zaman’, kiamat, Imam Mahdi dan lainnya. Bahkan ada seorang ustadz dengan lantang dan bahasa yang sarkastis berani menunjuk hidung bahwa Imam Mahdi sudah ada, yaitu seorang ulama asli Indonesia yang sedang terdzalimi. 

Nah, mengungkap belantara fakta ini, bukan berarti lantas tidak mengimani hal-hal yang sudah terkandung dalam agama. Hanya saja, remah-remah dari ceramah ‘kalap’ akan memantik orang bertanya, apa fungsi agama diturunkan? Apakah agama hanya untuk hal seperti itu? Apakah agama menjadi ‘senjata’ untuk melabrak dan menabrak mereka yang tidak sepaham?. Banyak lagi pertanyaan yang meruyak, yang intinya gelisah tentang makna agama bagi manusia.

Saya jadi teringar kalau baca-baca sejarah pemikiran Islam, tak sedikit filsuf muslim seperti Zakaria al-Rozi dan Ibnu Rawandi yang menyebutkan bahwa hadirnya agama hanya membikin kacau masyarakat. Karena bagi kedua filsuf tersebut, manusia cukup menggunakan akalnya untuk mengelola dunia dan melakukan kerja peradaban. Apa betul? Ah, jadi takut untuk meresponnya. 

Rujukan yang 'Netral-Netral' Saja 
Demi menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bagi saya  lebih baik çari selamat’ atau ‘cari nyaman’ saja. Caranya, dengan mengambil dan mengutip pandangan di luar agama saja untuk menyigi fakta massifnya amuk di masyarakat.. Dipilih yang lebih bersifat ‘netral’, tapi mempunyai daya isi yang tidak kurang positifnya. 

Kalau kita berselancar di dunia pemikiran dari zaman baheula sampai  kekinian, akan kita jumpau pandangan dari para pemikir yang bisa menjadi ‘obat penenang’ dan juga ‘pencerahan’ ditengah kesemrawutan jalanan hidup. Bagaimana para pemikir melihat dan merumuskan tentang marah atau emosi. Kita bisa temukan teori-teori yang mengungkap tema tersebut dan itu hasil riset yang tidak sebentar. Misalnya emosi sebagai bentuk kajian sosiologis dapat didalami dari teori budaya, seperti dijelaskan di dalam artikel Peterson (2005) tentang Cultural Theory and Emotions. Kajian lainnya dikembangkan melalui Teori Ritual oleh Erika Summers (2006) yang menggambarkan hubungan emosi dengan ritual kolektif yang dikaitkan dengan simbol, bentuk keyakinan, pemikiran, dan moralitas serta budaya tertentu.

Ada lagi namanya teori tanda yang menjelaskan bahwa marah atau emosi bukanlah sesuatu yang tampak, tetapi marah dapat dijelaskan dan dimaknai melalui ujaran bahasa manusia. Bahasa menjadi tanda yang merujuk pada kehadiran emosi seseorang terhadap orang lain.

Menyuplik Paterson (2005), emosi sendiri secara umum terbagi, yakni emosi sebagai bentuk konsep psikologis atas adanya reaksi terhadap stimulus yang datangnya dari luar dan emosi sebagai bentuk konstruksi sosial tentang sensasi, ekspresi bahasa tubuh, dan makna budaya terhadap suatu objek dan hubungannya dengan orang lain.

Ini memang kajian yang sifatnya teoritis. Jangan sampai dipandang ‘spam’  atau ‘thrash’ yang tak perlu dan lalu dihapus atau dibuang. Ini perlu setidaknya untuk bisa memahami munculnya fenomena marah secara simultan dan massif di masyarakat. Jadi biar tidak hanya ‘otak atik mathuk’ yang hasilnya muter-muter. Atau melihat dari kaca mata ‘politis’ yang bisa menghasilkan yang polaritif. Yah, memang begitulah seharusnya untuk membangun ‘masyarakat ilmiah’ perlu berkiblat pada hasil penelitian. Bukan asal comot sana-sini dan lalu marah. Marah setidaknya bisa ‘dinetralisasi’  lewat telaah ilmiah terhadap hasil pemikiran yang mendalam. 

Setelah sekelebat tahu teoritisasi kemarahan, supaya tidak dimarahi sebagai lambe turah, sekarang langsung saja ambil ‘jalan pintas’ tentang resep mengelola amarah.  Saya baca-baca pandangan filsuf Stoa, sekelompok filsuf yang hidup pada masa Yunani Kuno. Kemunculan kaum Stoa ditandai dengan pengajaran orisinil dari filsuf Zeno sekitar tahun 300 SM. Stoisisme ini menjadikan filsafat sebagai lelaku hidup yang praktis. Bagi kaum Stoa, tujuan hidup adalah hidup selaras dengan alam. Alam itu sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan kosmos, termasuk manusia. Dalam hal marah, kaum Stoa memberikan terapinya yaitu dimulai dengan memandang bahwa kebahagiaan itu bukan untuk dikejar. Mereka lebih berfokus bagaimana kita bisa mengurangi emosi-emosi negatif seperti marah, stres, sedih dan galau. Bagi mereka, emosi negatif itu bisa diobati dengan filosofi. 

Tengok lain lagi, misalnya dalam The Nicomachea Ethics, Aristoteles telah membahas tentang kebajikan, karakter, dan hidup yang benar. Tantangannya adalah bagaimana menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Akan tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosionalitas dan cara mengekspresikan.

Bagaimana orangbisaudah marah hanya gara-gara isu yang belum jelas jeluntrungnya? 
Ternyata jauh-jauh sebelumnya di abad sebelum Masehi sudah ada wejangan dari Marcus Aurelius, yang merupakan salah satu filsuf Stoa termasyhur. Dia mengingatkan bahwa apa yang kita dengar itu hanyalah opini, bukan kebenaran, dan apa yang kita lihat adalah perspektif, bukan fakta. Karenanya, manusia harus cermat dan waspada terhadap segala hal yang datang padanya.

Nah, banyak pendaman khazanah pemikiran dan kebijaksanaan yang mengajarkan untuk mengelola kemarahan serta membaliknya menjadi ketenangan batin. Saat ini, ada fenomena yang menguat ditengah fenomena puritanisme dan radikalisme agama, yaitu banyak orang yang berpaling pada kearifan kuno. Mereka mempelajari filsafat yang dipandang kaya dengan pikiran dan ajaran yang reflektif untuk menuju ketenteraman hati. Tak cukup itu, banyak yang juga kembali pada kearifan lokal yang menyimpan ajaran budi pekerti dan moralitas praktis untuk memandu jalannya hidup. Muncullah tak sedikit paguyuban-paguyuban ‘olah rasa’  melalui Yoga, Zen atau Tantra. Yang sifatnya komunal-etnik juga muncul seperti kelompok literasi Jawa untuk mempelajari konsep dan ajaran Jawa baik kosmologi, kosmogoni maupun moralitas. Belum lagi, bangkitnya ‘agama lokal’ seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, Marapu, Buhun, Aluk Tadolo, Sapto Dharmo dan banyak lainnya. Berbagai kepercayaan yang selama ini ‘tercecer’, sekarang menyadarkan orang untuk kembali memeluknya seiring masyarakat tengah dibadai oleh  keberagamaan yang ‘mengeras’.  

Agama tidak boleh jumawa, karena agama tidak hidup sendiri dibumi yang dihuni 7 milyaran manusia ini. Ada banyak kepercayaan  yang ‘menemani’  agama  dan saling berlomba menebarkan kebaikan, meraih ketenangan serta menghalau segala rupa emosi yang hanya membakar jiwa dan merusak tatanan sosial. Berawal dari simbol,--pinjam bahasa Paul Ricoeur-,lalu melahirkan makna, dan terjadilah lingkaran percaya. Itulah proses menjasadnya sebuah kepercayaan. Dengan kepercayaan, manusia akan terpandu oleh nilai-nilai yang sering disimbolisasikan melalui aneka wujud. Dan justru inilah, hakikat kepercayaan demi mengajak pada kebaikan, kesabaran dan kejernihan. Maka kepercayaan yang sudah meresap di dada pemeluknya sepatutnya dijadikan sebagai ‘energi’ positif untuk menjalin harmoni dengan sesama, mengedepankan welas asih (compasion) dan menghindari amuk yang membuta. Dalam Islam disabdakan al-dinu huwa al-nashehah, agama sejatinya adalah akhlak yang berbasis pada spiritualitas.

Penulis hanyalah Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi eksnapiter 


Tidak ada komentar