PWNU Banten News

Laskar Hijab dalam Belitan Irhab (Bagian 1)



Laskar Hijab Dalam Belitan Irhab (Bagian 1)
Oleh: Soffa Ihsan

Kasus penusukan Wiranto apa yang menarik? Banyak yang ‘gagal fokus’ hanya tertuju pada Syahrial Alamsyah alias Abu Rara. Lupa bila ada ‘jari lentik’ yang ikut beraksi. Ya, tragedi ini lagi-lagi kembali menyingkapkan peran perempuan. Fitri Andriani bersama suaminya Abu Rara melakukan ightiyalat cukup dengan kunai, senjata yang konon biasa dipakai ninja. Fitri yang asli Brebes ini selayak ‘Joker’, polos, hidup normal, pernah menjadi asisten rumah tangga di Jakarta lalu terpesona oleh faham JAD. Jadilah ‘weg zum ruhm’, jalan ‘tenar’ Fitri yang beralih jadi perempuan nekat dan beringas demi idiologi yang mungkin tidak dipahaminya. Sebelumnya, publik dikagetkan oleh ulah Marnita Sari Boru Hutauruk, istri Asmar Husain alias Abu Hamzah yang meledakkan diri saat dikepung Densus di Sibolga.

Ternyata perempuan bila sudah terjerat di jejaring teroris lebih radikal daripada laki-laki. Peristiwa sebelumnya, Desember 2016 terjadi penangkapan dua wanita calon pelaku bom bunuh diri di Jakarta. Tahun 2018 terjadi kasus bom bunuh diri di gereja Surabaya yang dilakukan sekeluarga. Pelakunya Dita Oepiarto, istri dan keempat anaknya meledakkan bom di tiga gereja. Mereka adalah Puji Kuswati isterinya, 2 anak perempuannya yaitu Fadilah Sari dan Pamela Riskika, dan dua putra Dita yang bernama Yusuf Fadil berusia 18 tahun dan Firman Halim berumur 16 tahun. Sementara Anton Febrianto adalah pemilik bom yang meledak di Rusun Wonocolo, Kecamatan Taman Sidoarjo. Dalam ledakan itu, Puspitasari, istrinya, dan anak pertamanya  tewas. Sedangkan anak ketiga dan keempatnya luka parah.

Pengaruhradikalisme seperti pada diri pelaku bom gereja di Surabaya itu disebut-sebut dari hasil indoktrinasi. Hasil indoktrinasi itu sangat mencengangkan hingga membuat sekeluarga ‘lupa daratan’ dan mau mempertaruhkan dirinya bersama anak dan istrinya untuk menjadi ‘pengantin’. Sang ideolog itu bernama Cholid Abu Bakar yang menjadi mentor mengaji para bomber Surabaya. Ia sesungguhnya bukan orang baru meski jarang terdengar. Ia sosok senior, dan perannya bukannya tak penting meski namanya tak muncul dalam struktur apa pun di JAD. Seperti Aman Abdurrahman, Cholid Abu Bakar adalah ideolog. Otak dari ideologi radikal yang menyusup dan mengental di kepala keluarga Dita, Anton, dan Tri. Ia amat mungkin mastermind dibalik teror Surabaya. Dia dulu simpatisan JI, lalu beberapa tahun terakhir ‘mengeras’ menjadi pro-ISIS, dan berangkat ke Suriah. Berhasil masuk Suriah selama 1,5 tahun, baru pulang ke Indonesia tahun 2017. 

Perempuan dalam Jejak 
Perempuan terjun menjadi teroris memang bukan fakta baru. Pada Abad 18, perempuan sudah muncul sebagai pelaku aktif terorisme seperti di Rusia saat melawan Tsar Rusia. Di Palestina juga demikian. “Kalian adalah laskar mawarku yang akan meluluhlantakkan tank-tank Israel,” seru Yasser Arafat pada pagi 27 Januari 2002. Sore harinya, untuk pertama kalinya seorang perempuan melakukan aksi bom bunuh diri. Dalam derita penjajahan Israel, telah lama perempuan Palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Peran perempuan Palestina ditengah kuatnya budaya patriarkhi justru dipandang menjadi setara ketika perempuan terjun dalam jihad diawali dengan gerakan intifada. Seperti dikatakan Zahira Kamal, feminis Palestina yang menyebut partisipasi kaum perempuan dalam intifada sebagai satu langkah maju dalam membangun masyarakat demokratis yang didalamnya ada kesetaraan dengan kaum pria (Barbara Victor; 2008). Di Irlandia saat konflik IRA dengan Inggris, banyak kaum perempuan yang terlibat dalam aksi terorr. Di Chechnya mulai tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri seiring dengan kematian suami-suami mereka. Boko Haram di Nigeria juga menjadikan perempuan sebagai bomber yang dipandang efektif karena mudah untuk mengelabui keamanan. 

Di Indonesia kurang lebih selama rentang waktu 2015-2016, kita telah melihat perempuan ditangkap atau diidentifikasi dalam beberapa jenis peran aktif:  Empat perempuan ditangkap, yaitu Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari alias Tasnima Salsabila, keduanya mantan pekerja rumah tangga di luar negeri, karena menjadi sukarelawan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri, pertama di Jakarta, yang kedua dilaporkan di Bali. Lalu Tutin Sugiarti, seorang pedagang obat herbal dan ahli terapi pengobatan Islam, untuk memfasilitasi pengenalan Dian kepada para pemimpin sel pro-ISIS dan untuk mendirikan sebuah badan amal pro-ISIS yang disebut Dapur Umahat Aser (Dapur Para Istri Para Tahanan) serta Arida Putri Maharani karena membantu suaminya membuat bom. Ada lagi Tini Susanti Kaduku dan Jumitif alias Ummi Delima ditangkap sebagai pejuang bersenjata dengan suami mereka di Mujahidin Indonesia Timur (Mujahidin Indonesia Timur, MIT). Ada pula Aisyah Lina Kamelya menciptakan Baqiyah United Group (BUG), saluran pro-ISIS internasional pada aplikasi media sosial Telegram. Keanggotaan termasuk orang India, Kenya dan Libya. Dan juga ada Ratna Nirmala mendorong suaminya untuk menemaninya dan anak-anak mereka ke Suriah.

Fakta ini tampaknya menambah daftar panjang perempuan yang sudah menjalani hukuman atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia, antara lain Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih, Munfiatun, Rasidah binti Subari alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen Luceno, Deni Carmelita, Nurul Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.

Fakta ini sekaligus menunjukkan keinginan wanita Indonesia untuk peran yang lebih aktif dalam terorisme. Fakta ini sekaligus bukti cerminan dari kelemahan gerakan pro-ISIS bahwa pemimpin laki-laki lebih berkewajiban untuk mewajibkan mereka daripada di masa lalu. Namun nayatnya inisiatif tersebut datang dari para perempuan. Ketertarikan perempuan Indonesia yang semakin meningkat untuk mengorganisir kelompok-kelompok media sosial, mendirikan badan amal pengumpulan dana dan menyediakan berbagai bentuk dukungan logistik untuk gerakan pro-ISIS menunjukkan bahwa ini bukan hanya laki-laki yang mengeksploitasi perempuan yang rentan, tetapi melibatkan perempuan yang bersemangat untuk diakui sebagai pejuang. Evolusi peran wanita ini meningkatkan risiko terorisme yang semakin ada ‘kesetaraan gender’ .

Peningkatan aktivisme terkait dengan kebangkitan Negara Islam di Irak di Suriah (ISIS) dan daya tarik kekhalifahan sebagai negara Islam "murni", tetapi juga kemampuan perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari kecanggihan media sosial yang semakin meningkat. Wanita dapat mengambil bagian dalam forum diskusi radikal, bertemu pria, membaca propaganda ISIS, mengungkapkan aspirasi mereka dan menemukan teman-teman yang berpikiran sama semua di ruang yang relatif aman dari pesan yang terdeteksi. Empat subhimpunan ekstremis perempuan Indonesia telah muncul, dua aktif, satu berpotensi aktif dan satu sementara dibongkar. Yang pertama terdiri dari pekerja migran Indonesia di luar negeri di Asia Timur dan Timur Tengah yang mungkin memiliki kepercayaan diri yang lebih, lebih dari pandangan internasional, kemampuan bahasa Inggris atau Arab yang lebih baik dan keahlian komputer yang lebih baik daripada banyak rekan-rekan mereka yang tinggal di rumah. Karena orang asing yang dicopot di negara baru, mereka juga mungkin memiliki minat khusus dalam membangun komunitas baru di tempat mereka bekerja. Radikalisme laki-laki tampaknya melihat mereka lebih sinis sebagai sumber uang, tetapi itu menjadikan mereka target khusus untuk rekrutmen dan permohonan sumbangan.

Kelompok kedua terdiri dari wanita Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah sebagai bagian dari unit keluarga. Memang sangat sedikit wanita lajang yang mencoba untuk pergi sendiri ke Suriah. Kalau toh ada bisa kita contohkan Nur Syahdina Dania, yang saat itu berumur 15 tahun ingin hijrah ke Suriah sebagai Bumi Syam yang dijanjikan. Kendati dia tidak sendiri karena bersama 23 keluarganya termasuk bapaknya yang pejabat eselon 2 di otorita Batam yaitu Joko Wiwoho.  Dalam beberapa kasus, para wanita yang mendorong keluarga untuk pergi, tertarik dengan video ISIS atau bertekad untuk membesarkan mereka.

Dengan semakin banyak orang Indonesia terbunuh dan banyak dari gadis-gadis yang mencapai usia nikah, kemungkinan meningkatnya lebih banyak perkawinan antara janda Indonesia dan wanita muda dengan pejuang asing dari luar Asia Tenggara. Pejuang Indonesia yang telah pergi sebagai bujangan juga menikahi wanita lokal. Internasionalisasi jaringan teroris ini bisa memusingkan bagi pasukan keamanan di seluruh dunia di tahun-tahun mendatang. 

Kelompok aktivis potensial ketiga adalah perempuan yang dideportasi. Ini adalah perempuan yang mencoba menyeberangi perbatasan Turki untuk bergabung dengan suami atau anggota keluarga lainnya atau yang datang dalam unit keluarga tetapi ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah Turki. Mereka tidak dipantau secara sistematis dan juga tidak ada program untuk membantu reintegrasi mereka, tetapi dalam banyak kasus mereka memainkan peran ekonomi aktif di komunitas mereka sebelum keberangkatan. Mereka cukup radikal untuk ingin pergi; dan mereka mungkin frustrasi karena tidak mencapai tujuan mereka.

Ada pula para kombatan perempuan dari MIT di Poso. MIT, dari kemunculannya pada tahun 2013 hingga kematian pemimpinnya yaitu Santosa pada Juli 2016, adalah yang paling dekat dengan organisasi manapun yang telah datang dalam beberapa tahun terakhir menjadi jihadis di Poso. Para istri dilatih untuk menggunakan senjata api dan bahan peledak. Mereka sebenarnya lebih sebagai strategi bertahan hidup daripada sebagai taktik yang disengaja untuk mengecoh musuh (pasukan keamanan Indonesia). MIT telah dibongkar sebagian besar melalui operasi gabungan polisi-militer,. Walaupun begitu bahaya jaringan radikal yang muncul kembali di Poso masih cukup tinggi. Keterlibatan para perempuan dapat menandakan keinginan yang lebih besar dari kelompok-kelompok ekstremis dalam kondisi tertentu untuk menyertakan perempuan dalam pelatihan di masa depan. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia jauh dari sendirian dalam melihat peran yang lebih besar bagi perempuan dalam radikalisme.

Keterlibatan yang Terbagi 
Peran sebagai pendukung tidak langsung adalah mereka yang mendukung jaringan ISIS namun tidak ikut terlibat dalam aktivitas terorisme. Posisi ini ditempati perempuan-perempuan yang memberikan dukungan secara finansial, material, dan sikap sosial. Dalam posisi pertama ini banyak diisi oleh simpatisan-simpatisan ISIS. Simpatisan perempuan ISIS dari Indonesia beberapa diantaranya memang tidak memiliki peran khusus dalam kelompokdan juga tidak banyak diketahui publik karena mereka bergerak pada forum-forum diskusi atau hanya sekedar memberikan dukungan pribadi. Dukungan personal kepada ISIS misalnya ditunjukkan oleh Ratna Nirmala yang merupakan simpatisan ISIS dari Indonesia. Ia merupakan perempuan yang berhijrah ke Suriah bersama suami dan anak-anaknya untuk mendukung berdirinya Daulah Islamiyah/ ISIS. Secara umum apa yang dilakukan Ratna Nirmala adalah bentuk dukungan dari simpatisan. Jika melihat melalui tipologi peran dalam kelompok teroris, maka Ratna Nirmala berada pada level pengikut (followers), yaitu sebagai simpatisan. 

Posisi kedua yang dapat diisi oleh perempuan dalam kelompok terorisme adalah sebagai pendukung langsung yang terlibat aktivitas terorisme, namun bukan pelaku bom bunuh diri. Pada posisi ini ditempati beberapa perempuan diantaranya Umi Delima, Rosmawati, dan Tini Susanti yang tergabung aktif kedalam kelompok MIT pimpinan Santoso. Perempuan lainnya yaitu Tutin Sugiarti dan Arinda Putri Maharani dari jaringan ISIS Bahrun Naim melalui Solihin (IPAC, 3 Januari 2017). 

Perempuan dalam kelompok MIT banyak dilibatkan secara langsung dalam aktivitas kelompoknya. Umi Delima yaitu istri kedua dari Santoso bahkan dilibatkan dalam camp pelatihan di gunung biru dan juga ikut serta menjadi bagian dalam aksi baku tembak antara kelompok MIT dengan aparat. 

Perempuan selanjutnya yaitu Tini Susanti yang juga merupakan istri dari Ali Kalora salah satu pimpinan dalam kelompok MIT yang menggantikan Santoso. Sama halnya dengan Umi Delima, Tini Susanti juga terlibat dalam camp pelatihan gunung biru. Peran lain ditujukan oleh Rosmawati, Ia menjadi perantara penerimaan uang via rekening yangkemudian ia salurkan pada istri–istri teroris dan martir serta untuk membeli logistik persediaan kelompok (IPAC; 31 Januari 2017). 

Perempuan yang berperan sebagai pendukung langsung dan terlibat aktif dalam jaringan ISIS juga ditunjukan oleh perempuan dari kelompok Solihin yaitu jaringan ISIS dari Bahrun Naim. Tutin Sugiarti merupakan perempuan yang menempati posisi sebagai perekrut (recruiter). Tutin Sugiarti merupakan seorang yang telah merekrut Dian untuk dihubungkan dengan kelompok Pro ISIS pimpinan Bahrun naim. Tutin menjadi orang yang mengenalkan Dian kepada Solihin sebelum Dian dinikahi oleh Solihin dan melakukan misi menjadi martir bom bunuh diri.  Perempuan selanjutnya yaitu Arinda Putri Maharani, yaitu istri pertama Solihin yang ditangkap karena menjadi fasilitator penerimaan uang perakitan bom dan juga karena ia mengetahui bahan peledak dan lokasi perakitan bom tersebut.

Posisi ketiga yaitu sebagai pelaku bom bunuh diri. Tipologi peran perempuan sebagai martir bom pada posisi ini sebagai posisi khusus tersendiri. Posisi ini merupakan posisi yang sangat penting, namun dengan resiko pengambilan keputusan yang tinggi. Posisi pelaku bom bunuh diri pada kasus jaringan terorisme ISIS di Indonesia diisi oleh Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Meskipun mereka berdua masih dalam tahap perencanaan, namun keduanya adalah perempuan yang sudah diputuskan sebagai calonpengantin bom bunuh diri. Dian adalah calon pelaku bom bunuh diri yang akan diledakkan di Istana Negara sedangkan Ika Puspitasari adalah calon martir yang akan diledakkan di Bali (IPAC, 31 Januari 2017).  Keduanya meskipun memiliki peran yang vital dan beresiko, namun mereka menempati level yang rendah, yaitu sebagai follower dengan posisi sebagai foot soldier. Hal ini terjadi karena posisi ini adalah posisi yang diisi oleh anggota-anggota yang memiliki kemauan besar namun tidak banyak memiliki peran penting lainnya dikelompok (J. Victorof; 2005). 

Posisi keempat yaitu peran sebagai pemimpin kelompok. posisi ini adalah posisi yang menempatkan seseorang pada resiko pemenjaraan bahkan kematian. Posisi ini adalah posisi pimpinan dalam sebuah kelompok terorisme yang memiliki kewenangan untuk memilih orang lain untuk dilibatkan dalam setiap aktivitas terorisme. Dalam hal ini bisa dimasukkan Aisyah Lina Kamelya kedalam kategori perempuan yang memiliki peran sebagai pemimpin dalam kelompok. Ia dikategorikan sebagai pemimpin atas inisiatifnya membangun Baqiyah United Group (BUG) yaitu sebuah group dalam jejaring sosial telegram yang memfasilitasi para perempuan untuk ikut dalam jihad pro ISIS. BUG berfungsi merekrut orang–orang ISIS dan juga melakukan penggalangan dana dari simpatisan untuk mendukung setiap aktivitas jaringan ISIS termasuk biaya untuk pergi ke Daulah Islamiyah.

Hingga sekarang secara posisi memang belum ditemukan kalau perempuan Indonesia berada di level pemimpin dalam jaringan ISIS di Indonesia. Hal ini bisa dipastikan oleh karena belum banyak perempuan Indonesia yang memiliki sikap berani memutuskan diri sendiri untuk mengambil resiko dengan memasuki wilayah terorisme lebih jauh. Termasuk untuk mengendalikan jaringan terorisme dengan menjadi pemimpin. 

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tidak ada komentar