PWNU Banten News

Teror dan Kidung Sufi


Teror dan Kidung Sufi
Oleh: Soffa Ihsan

Ketika bumi dibagi-bagi bagaikan kue, dan para teroris melahap kue itu atau memuntahkannya. Ketika uang berhasil dikeruk atau direbut, lewat ancaman. Dan mereka yang menyandera sama terkenalnya dengan tokoh yang disandera. Ketika dunia digebrak dan pembantaian sadis digelar untuk sebuah tujuan absurd. Ketika bom pemusnah menyemburkan api kematian. Dan ketika mata dunia terbelalak, lalu sepakat; War Againts Terrorism.

Tapi kegilaan terus menderu atau-seperti kata Julia Kristeva-terus memerangkap manusia dalam kebinatangan dan fantasi kekejaman, bercak darah dan kematian. Maka jagad manusia tak pernah sepi dari nyinyir darah, tubuh yang berceraiberai, gedung yang hangus berpuing, muka-muka garang eksekutor, atau muka-muka pasi keluarga korban. Hari ini, seseorang diberondong peluru, esoknya ada yang ditembak rubuh di jalanan, lusanya ada pembantaian massal. Atau, peledakan pesawat dan nyalak bom di mal, gedung perkantoran dan dimana saja.

Terorisme terus mengembang dan meluas serta menggetarkan dunia. Kemajuan tehnologi komunikasi justru mengekarkan bangunan terorisme. Dan terorisme moderen tak lagi membedakan sasaran militer atau sipil. Seperti digambarkan oleh Albert Camus dalam sandiwaranya Les Justes bahwa karena tujuan mereka hanyalah memberikan gangguan dimana saja, sampai tujuan politik mereka dikabulkan.

Masyarakat dunia pun seolah berada di tubir  “masyarakat panik” (panic society) yang tak henti meremas-remas rasa takut, cemas dan galau yang beraduk dengan percah-percah harapan menyingsingnya fajar keteduhan nan indah.

Jiwa Soliter
Pada umumnya, kaum teroris berpijak pada suatu ideologi yang menjadikan mereka separatis, anarkhis, pemberontak, nasionalis, revolusioner atau pemeluk agama yang  radikal. Rata-rata, mereka terpincuk oleh fanatisme yang kuat. Tetapi, apapun dasar pijakannya, sebagai teroris mereka ditandai oleh tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penduduk biasa atau non-combatting, yang tak dipersenjatai dengan sasaran mencapai khalayak yang lebih luas. Dengan cara ini, mereka berharap memperoleh pengaruh politik yang jauh lebih besar, misalnya diakui keberadaannya oleh masyarakat.

Diluar “ pemetaan horrorgraphy”, terpancang kesah-kesah tanya, mengapa tindakan sadis dan teror itu mesti berlaku. Kata-kata “sadis” dan “teror” memang bisa menyorongkan kejijikan, tapi sekaligus juga pesona. Kesadisan bahkan bisa menjadi wilayah eksplorasi diri demi menguak realitas baru. Sastrawan-filsuf Perancis, Baudelaire misalnya malah mencitrakan ekstase diri akan darah dan penyiksaan. Gagasan subversif tersebut sama halnya yang dilakukan oleh Marquis De Sade-dimana kata sadis membaku-yang menggilai liturgi kekejaman hingga hampir tiga puluh tahun hidupnya dihabiskan di penjara. Atau, dulu ada gegeran Soemanto, kanibalis dari Purbalingga mungkin tak pernah menekuri bahwa kesadisan sebagai suatu yang najis, tapi malah mistis. Tak ayal, ada filosofi dan mistik di jantung kesadisan dan teror. Dan kematian telah membelingut citranya dalam percah-percah pesona, menepikan cita rasa yang menakutkan serta menjelma menjadi sarana untuk sebuah tujuan suci. 

Kecemasan adalah sesuatu yang tidak nyaman. Namun, saat-saat kematian bagi sementara orang malah dinantikan, betapapun lewat berbagai jalan. Dalam bilik kejiwaan sang pelaku teror, terpekik semangat pengabdian, pengorbanan  atau  solidaritas. Taruhlah-seperti kata Hannah Arend dalam the Human Condition-demi sebuah kepastian diri dan identitas. Sebab, momen survival manusia bisa menjasad dalam pengalaman kekerasan. 

Disinilah, lalu kematian terpatri jadi sebuah tehnik. Maka terorisme adalah politik kematian. Bukan kematian yang jadi tujuan-atau mencuplik kata Heidegger; Sein Zum Tode, semua ada menuju kematian-melainkan ketakutan akan mati yang memejar dalam diri massa. Melalui obyektivikasi rasa takut kematian, dipertajam oleh kekaburan struktur sosial, atomisasi masyarakat dan defisiensi politik, maka teror menjadi efektif dalam pembentukan solidaritas negatif yang menjeruji jiwa-jiwa yang soliter, senyap dan letih.             
Kidung Cinta

Kaum sufi-kata Abul Husein al-Nuri-adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika semua orang mengejar dan memuaskan diri dengan sifat-sifat, sang sufi mencari esensi  ilahiah dan tak menjunjung tinggi apapun kecuali esensi itu. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka. Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia justru mengganti kerusakan seruling dengan sejumlah uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Busanji ditinju oleh seseorang, ia justru memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia malah menghiburnya, hingga orang itu lupa akan rasa malunya dan kembali riang.

Bagi kaum sufi, tidak melakukan perlawanan memiliki dua aspek. Pertama, tersinggung adalah sifat eksistensi diri dan egosentris, sedangkan sufi adalah “tanpa ego”. Jadi barangsiapa yang kesal dan melakukan kekerasan, masihlah ia seorang yang sadar akan identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Kedua, sufi adalah seorang yang berpasrah diri kepada Tuhan dan berpuas diri dengan kehendak-Nya. Apapun penderitaan dan kehinaan menimpanya, ia justru menganggapnya sebagai kiriman ilahi.

Semua itu dimungkinkan, karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme, cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.

Masing-masing tarekat sufi hanya menekankan satu segi tanpa pernah menafikan segi lainnya. Sesungguhnya cinta sufi (‘syq) dipahami kaum sufi sebagai realisasi aspek gnosis (ma’rifah). Metafisika paling murni, jika hanya bercorak teoritis adalah kecil dibandingkan dengan realisasinya dalam jiwa manusia. Ia adalah sejenis cinta yang dikawinkan dengan gnosis serta mengantarkan pada keesaan Allah (tauhid) yang akan mengatasi semua bentuk dualitas, bahkan dualitas yang ada antara sang pecinta dan kekasih. Dari sini, bisa dipahami bila al-Ghazali menempatkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami sebagai orang yang telah mencapai puncak hakikat tauhid (khawash al-khawash).

Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Sikap dan perilaku para sufi  dijangkari oleh perasaan cinta yang sejati; Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani:”sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”. 

Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah” yakni segebung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul.

Tindakan sufi acapkali dipandang melampaui “akal waras” (khariq al-‘adat). Batas antara  “kewarasan” dan “kegilaan” dalam dunia sufi acap terpintal dalam sikap dan tindakan yang tak jamak. Mungkin saja, sebuah aphoira atau kemustahilan mewujudnya sikap dan tindakan seperti diteladankan kaum sufi.

Kaum sufi bukanlah manusia yang mengasingkan diri di lembah-lembah sunyi, bersemedi demi mencari pencerahan hati. Lalu meninggalkan segala gumam-gumam masyarakat dan tak peduli pada keperihan dan kepedihan yang menerpa masyarakat. Jalan yang dipilih sufi adalah pancaran dari kepekaan intuisi. Bagi sufi, sebuah pilihan rasional sesungguhnya hampa secara spiritual dan bisa menyeret kegamangan secara moral dan sosial. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahaya ini dalam kisah perdebatan antara pencuri buah aprikat dan pemilik kebun. Keduanya saling beradu alasan dalam mendukung tindakannya. Maka antara tindakan mencuri dan penyiksaan pemilik kebun terhadap si pencuri itu menjadi kabur, tertelikung oleh alasan rasional. 

Periskiran terhadap aspek nalar bukan berarti sufisme kemudian menjadi larut dalam “gula-gula esoterisme” yang terpancang pada rasa manis estetika yang subtil dan memberantakkan kebutuhan aktivisme. Dengan melukar penalaran yang formalis, sufisme justru hendak membelalakkan mata atas kekerdilan cara pandang yang hanya menekuri sisi-sisi skriptural dalam agama. Sufisme hendak mencairkan upaya reduksionisme pola pikir yang dualistik yang hanya akan memantik ekstrimisme.

Dalam tilikan sejarah, justru sufisme  klasiklah yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstrimitas. Demikianlah, sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umawiyah di Damaskus.

Tokoh-tokohsufi besar pada saat yang sama adalah transformator sosial dalam pergulatan determinasi eksistensialnya. Tarekat Sanusiyah berhasil mengusir terorisme negara (state terrorism) oleh kekuatan kolonialis di Libya. Disini jelas sufisme bermetamorfosis sebagai kekuatan perlawanan yang ingin meluluhlantakkan kemanusiaan. Gerakan sufisme  yang demikian adalah replika suatu gerakan yang berhimpitan (interwoven) dengan universalisme empati kemanusiaan.

Tentu sangat berbeda, bila gerakan keagamaan merekah dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ektrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstrimisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.       
                 
Nah, dalam situasi apapun, tasawuf tetaplah abadi sebagai penjaga gawang “ketahan jiwa” dengan mekanisme dasarnya yaitu pengendalian diri. Bagi sufi: “hasrat tidak dapat dilawan dengan hasrat, melainkan dengan hati yang berbinar (nur al-qudsi).

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi eksnapiter









Tidak ada komentar