PWNU Banten News

RUU PESANTREN: TUNTUTAN SANTRI DAN KEBERATAN MUHAMMADIYAH

A. Khoirul Anam 

Sebelum membahas RUU Pesantren, marilah kita membaca surat al-fatihah atas matinya banyak madrasah diniyah gara-gara penerapan fullday school atau program sekolah 5 hari kerja. Kalangan pesantren ramai-ramai menolak kebijakan ini, tapi toh kebijakan tetap dijalankan oleh dinas pendidikan di berbagai daerah. Pak Jokowi juga sepertinya tidak terlalu peduli dengan pelaksanaan madrasah diniyah oleh masyarakat di sore/malam hari karena paradigmanya hanya kerja-kerja-kerja dan penggejotan sektor wisata di hari Sabtu-Minggu. Point yang sangat disesalkan, ketika bicara “pendidikan karekter” pemerintah hanya berharap pada sekolah dan menyepelekan peran serta masyarakat yang sudah berjalan selama ini. Tapi Sudahlah!

Berbicara RUU Pesantren, RUU ini awalnya bernama RUU Pesantren dan Madrasah yang disodorkan oleh PKB. Dasar pemikirannya sederhana, paling tidak yang sering dipakai bahan kampanye menjelang pemilu 2019, bahwa selama ini guru pesantren atau guru ngaji tidak mendapatkan dana dari pemerintah. RUU ini mentah, dan kemudian belakangan rumusannya berubah menjadi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan agar bisa menampung pendidikan keamaan lain. RUU ini diketok sebagai RUU inisiatif DPR. Pengusulnya Fraksi PKB, PPP dan PKS. Menjelang pemilu, tiga parpol ini sangat rajin bicara RUU pesantren pada saat kampanye, namun menyimak komentar dari para legislator dapat dipastikan bahwa sebagian besar mereka belum membacar RUU itu.

Draft RUU Pesantren dan Pendidikan Keagaman ini sangat buruk (ini bahasa seorang ahli legal drafting), tambal sulam di sana sini dan kelihatan disusun kejar tayang mendekati pemilu. Sebagian isinya malah mengambil dari peraturan Menteri Agama. Kementerian Agama lah yang mendapatkan getahnya karena harus menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari RUU inisiatif DPR itu.

RUU Pesantren dan Pendidikan Keagaman diprotes di sana-sini. Protes yang paling harus diterima adalah kebaratan dari kelompok non muslim atas regulasi yang diperuntukkan bagi model pengajaran agama yang selama ini dilaksanakan. Tentu pengajaran agama mereka sangat berbeda dengan model pesantren yang sudah melembaga dengan berbagai karakterya yang khas. Maka dalam perkembangan berikutnya, bagian pasal tentang Pendikan Kegamaan dibuang dari RUU ini sehingga menjadi RUU Pesantren saja.

Kita perlu mengapresiasi para pejuang RUU ini yang sangat gigih, terutama para pegiat madrasah diniyah takmiliyah, pesantren muadalah dan Ma’had Ali serta Kementerian Agama sendiri meskipun awalnya RUU ini berasal dari inisiatif DPR. Draft RUU pesantren sudah pernah didiskusikan di PBNU, saya ikut dalam dalam forum ini. Ketika itu kecenderungan para pengurus besar NU menolak RUU ini setidaknya karena dua hal: muatannya sudah adalah dalam peraturan menteri agama, dan RUU ini punya “ambisi” untuk melakukan standarisasi yang mengganggu kekhasan pesantren.

Nah draft RUU Pesantren yang baru ini agak berbeda dan mengalami banyak penyempurnaan. Semangat RUU ini adalah memberikan rekognisi (pengakuan) dan afirmasi (pembelaan) terhadap eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.

Saya mencat beberapa hal yang penting. RUU ini membagi fungsi pesantren ke dalam tiga fungsi: pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dua fungsi yang terakhir ini kita bahas lain kali. Untuk fungsi pendidikan, RUU ini membag pesantren ke dalam empat model: yang formal bernama pendidikan diniyah, mu’adalah dan ma’had ali, dan yang yang formal adalah pesantren itu sendiri (salafiyah) yang identik dengan kitab kuning.

Yang menarik, RUU ini menempatkan empat model pesantren dalam fungsi pendidikan tadi setara dengan lembaga pendidikan lain dalam hal BOLEH MELANJUTKAN KE JENJANG FORMAL YANG LEBIH TINGGI MAUPUN KESEMPATAN MASUK DUNIA KERJA. Tidak alasan lembaga pendidikan atau institusi kerja formal menolak ijazah keluaran pesantren. Bahkan terkait pendidikan nonformal pesantren tegas disebutkan, bahwa “Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis dan/atau kesempatan kerja.” (pasal 23 ayat 4)

Dalam RUU ini ada juga tentang kewajiban memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia. Mungkin maksudnya agar tidak ada “penumpang gelap” yang menggunakan institusi pesantren untuk menanamkan paham-paham anti NKRI. Namun entah lupa atau saya salah baca, ketentuan ini hanya ada untuk ma’had ali tapi tidak bagian muadalah dan pendidikan diniyah. 

Kabar buruknya, dari RUU ini praktis tidak menyinggung anggaran pendidikan 20 persen APBN yang sebagian besar dialirkan ke daerah dan diserap habis oleh lembaga pendidikan di bawah naungan Kemendikbud. Dalam konteks ini saya kira Muhammadiyah tidak perlu khawatir, orang pesantren biasa ikhlas beramal.

Saya kutipkan utuh BAB V tentang PENDANAAN Pasal 48: (1) Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren berasal dari masyarakat. (2) Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Sumber pendanaan Pesantren yang berasal dari hibah luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pada ayat 4, pemerintah daerah membantu sesuai kewenangan perundangan itu hampir dipastikan tidak mengalokasikan dana dari dinas pendidikan, tapi dari hibah sosial, itu pun kira-kira akan hanya dialirkan mendekati pelaksanaan pilkada. Artinya RUU ini tidak mengusik skema dana pendidikan yang luar biasa besar 20 persen itu. Aliran dana pesantren dalam RUU ini tetap kecil dari Kementerian Agama, itu pun kalau mengalir (karena jangkauan kementerian agama sangat terbatas sementara jumlah pesantren banyak sekali dididikan oleh masyarakat). 

Kalau saya mengelola pesantren, saya bisa mengatakan, “RUU ini banyak ngatur tapi gak ngasih duit!” Orientasi RUU ini terutama hanya pada aspek rekognisi dan afirmasi minus pendanaan.

Saya membaca surat keberatan Muhammadiyah yang ditujukan kepada Ketua DPR. Surat ini viral. Ada beberapa nama orang penting dari Muhammadiyah, dan dari beberapa ormas modernis (ini model pemetaan lama). Muhammadiyah semenjak awal kooperatif dengan sistem pendidikan “umum” ala kolonial, sementara kaum pesantren sebaliknya: non kooperatif (sebagai risiko persuangan di garis fisik). Namun menurut saya Muhammadiyah masih memakai standar ganda: Satu sisi mereka mengajukan integrasi keilmuan (agama dan umum), tapi di sisi lain mereka menyudutkan pesantren untuk hanya bergelut dalam pendidikan agama dan tidak berhak mengakses dana pendidikan (umum) dari pemerintah, padahal semua tahu bahwa di pesantren kita tidak hanya belajar ilmu agama/akhirat. Wallahu a’lam.

Kekhawatiran Muhammadiyah bahwa RUU ini akan menimbulkan reaksi agama lain untuk memunculkan tuntutan RUU serupa dan akan menyebabkan disintegrasi bangsa, menurut saya hanyalah kekhawatiran yang mengada-ngada. Satu masukan Muhammadiyah yang bisa masuk akal, muatan RUU ini bisa dimasukkan ke dalam revisi UU Sisdiknas 2003. Dan muatan penting dalam RUU ini adalah soal rekognisi dan afirmasi itu. Pemerintah perlu berterimakasih kepada masyarakat yang selama ini berperan “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”: tugas yang semestinya harus ditanggung oleh negara.

Akhirnya, RUU dibuat sesuai kebutuhan dan tetap melalui proses politik tertentu. Disahkan atau tidak, sosialisasi RUU ini akan membuka wawasan kita tentang sistem pendidikan yang selama ini berlangsung, dan mungkin bisa mengobati kesalahpahaman “kaum modernis” terhadap dunia pesantren.

Tidak ada komentar