PWNU Banten News

Dari Ngaji ke Hijrah


Dari Ngaji ke Hijrah
Oleh: Soffa Ihsan

Hijrah, sebuah kata yang hari-hari ini tengah memuncak popularitasnya. Berawal dari tapak historis ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah untuk membangun masyarakat yang tamaddun (peradaban). Nabi Muhammad sampai harus mengganti nama ‘Yatsrib’ menjadi ‘Madinah’ demi menunjukkan bahwa hijrah Nabi kala itu untuk tujuan membangun peradaban seperti tersurat dalam makna ‘Madinah”. Kini makna hijrah menggulir dan menjasad lebih bersifat ‘millenial’ seakan lebih ‘nendang’ karena kali saja dimakna tak sekedar hijrah dari masa ‘jahiliah’, tapi ke meluapnya ‘ghirah’  keagamaan.
Biasanya hijrah diawali dan dilanjut melalui ‘pengajian’. Ini menjadi ‘jalan masuk’ (pathway) bagi seseorang untuk menyesap ‘cahaya’ kesadaran. Istilah pengajian sendiri terlihat mengalami ‘likuifaksi’, pergerakan makna ditengah ‘gempa’ hijrah. Kini, pengajian seolah mau ‘ambles’ digeret dalam pemaknaan yang lebih ‘ngarab’, dengan istilah ta’lim, halaqoh atau talaqi. Di pesantren-pesantren tradisional dari dulu galibnya pengajian dilakukan dengan model sorogan dan bandongan. Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats. Secara bahasa, sorogan berasal dari kata Jawa sorog, yang artinya menyodorkan. Sedangkan metode bandongan atau bandungan, istilah ini dalam bahasa Jawa, berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Setiap murid menyimak kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsari Dhofier, 1982).

Yah, ngaji di era tehnologi saat ini tak perlu berpayah-payah. Tak mesti offline, tapi bisa juga online. Dulu orang berbondong-bondong datang ke pengajian akbar dengan naik colt pickup atau bis. Sekarang, cukup ngeklik gadget nonton youtube dengan banyak menu dari para ustadz sambil ngopi dan makan camilan beres sudah. Mau cari model ustadz apa saja, made ini mana, pokoknya siap saji. Jangan kaget menyeruak ‘penanda’ di zaman yang menurut Jean Baudrillard disebut hiperrealitas ini seperti seleb-hijrah, muallaf-hijrah, preman-hijrah hingga hijrah jihadis. Inikah sebuah ‘megathrust’ dari fetisisme hijrah? Tak pelak, kini-disini menyorong wajah-wajah ‘generasi hijrah’ yang kalau coba-coba dibesut produknya, yaitu puritan, militan dan jihadis.

Gerakan atawa Banalitas
Apakah fenomena hijrah telah memantul sebagai gerakan sosial baru atau hanyalah ‘daur ulang’ dari senarai gerakan yang pernah singgah di bumi pertiwi ini dengan segala riuh rendahnya? Dengan ungkapan lain, apakah fenomena hijrah di berbagai kalangan muslim ini representasi dari ‘new social movement’? Di belantara ilmu sosial, bersemayam teori New Social Movement (NSM) yang muncul di Eropa untuk menjelaskan (verstehen) gelombang aksi kolektif yang tampaknya unik yang dimulai pada 1960-an. Beberapa karakteristik kunci NSM, terutama orientasi pasca-industri dan pasca-materialis, inti dari aktivis kelas menengah, bentuk organisasi yang longgar, meluasnya penggunaan aksi langsung simbolis, fokus pada penciptaan identitas sosial dan politik baru, bersama dengan bentuk radikalisme yang 'membatasi diri'.

Bentuk baru keterlibatan politik-budaya ini mendorong pembangunan identitas sosial baru. Akhirnya, identitas-identitas baru itu diciptakan melalui politik ekspresif yang mempromosikan realisasi diri dan hak atas otonomi, daripada asimilasi tuntutan gerakan ke dalam politik arus utama. Menghadapi perubahan gaya hidup yang mereka cari untuk masa depan memberi kepercayaan pada slogan feminis tahun 1960-an, yaitu kredo 'pribadi adalah politik' (Stephen Vertigans; 2009).

Beberapa fitur New Social Movement (NSM) adalah jaringan, interaksi informal, organisasi, dan identitas bersama. Tampaknya, pemerian ini cocok menggambarkan fenomena ‘generasi hijrah’. Terkhusus gerakan-gerakan Islam militan terbukti diorganisasikan melalui jaringan interaksi antara sejumlah aktivis dan organisasi yang terlibat dalam konflik politik dan budaya berdasarkan identitas-identitas Islam radikal.

Indonesia sedari lama hingga detik ini mempunyai ‘khazanah’ kelompok ekstrimis Islam kategori ‘berkekerasan’. Ini berawal dari pemberontakan Darul Islam 1948-1965 dan selanjutnya gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII). Lanskap gerakan ini telah ditandai oleh faksisasi dan fragmentasi, yang biasanya menyimpang dari masalah ideologi, kepribadian, dan yang penting, dimana dan dalam kondisi apa kekerasan diperbolehkan. Kelompok sempalan DI yang paling menonjol adalah Jamaah Islamiyah (JI), yang didirikan pada tahun 1993 oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Sebuah faksi di dalam JI melakukan kampanye kekerasan, termasuk pemboman Malam Natal 2000, pemboman Atrium Mall 2001, pemboman Bali tahun 2002, dan pemboman Hotel Marriott 2003. Faksi itu lalu membentuk sel independennya sendiri, Al Qaeda di Kepulauan Melayu, yang melakukan pemboman Kedutaan Besar Australia 2004, pemboman Bali 2005, dan pemboman hotel Marriott dan Ritz Carlton 2009.

 Pada 2008, pendiri JI Abu Bakar Ba'asyir meninggalkan organisasi dan mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang beroperasi sebagian blak-blakan (tandzim jahr) dan sebagian secara klandestin (tandzim sirri). Pada 2014, JAT berpisah setelah keputusan Ba'asyir untuk mendukung ISIS, sehingga mereka yang menentang ISIS membentuk Jamaah Ansharus Syariah (JAS). Konflik komunal di Poso dan Ambon antara tahun 1998 dan 2007 juga memunculkan kelompok-kelompok jihad lokal, yang berafiliasi dengan JI dan Mujahidin KOMPAK. Kelompok-kelompok yang berorientasi pada konflik lokal ini memiliki hambatan masuk yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan JI, dimana mereka sering membutuhkan waktu setahun dan selama lima tahun hingga bai’at. Sejak 2013, Indonesia juga didera dengan munculnya jaringan pro-ISIS yang bertanggungjawab atas serangan Jakarta 2016, bom bunuh diri kantor polisi Solo 2016, serangan Kampung Melayu 2017, dan pengeboman gereja 2018 di Surabaya.

Jaringan ini dicangkokkan ke berbagai kelompok ekstrimis Islam yang ada. Sebagian besar diantaranya diorganisasikan secara longgar di bawah payung Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang dipimpin oleh Aman Abdurahhman atau terkait dengan jaringan yang jauh lebih kecil yang dipimpin oleh mantan anggota JI, Abu Husna. Kelompok dan jaringan ini terhubung dengan warga negara Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Yang paling menonjol ketika melihat jaringan pro-ISIS secara keseluruhan adalah bahwa kriteria seleksi dan proses induksi jauh lebih longgar daripada organisasi militan Indonesia lainnya.

Dari selintas ‘tafsir unyu-unyu’ seputar sejarah dan pergerakan ekstrimisme serta secuplik perspektif gerakan sosial ini, tulisan ini tidak bermaksud mengajak ‘berselancar’ dengan teori-teori sosial yang njlimet. Setidaknya dari kepingan teori ini, bisa menjadi ‘optik’ melihat fenomena hijrah yang tengah mengguyah. Hasilnya, terkuak bahwa hijrah yang meranggas dulu dan kini tidak laiknya banalitas, tapi ada ‘keunikan’ yang ajeg. Mereka yang hijrah terus bermetamorfosa hingga membangun ‘identitas’ sosial dan keagamaan yang sarat simbol. Dan pula masing-masing memiliki jaringan dan organisasi yang berbeda. Demikian halnya, interaksi informal yang terjalin meski tak kontinyu karena ada perbedaan marja’ (rujukan). Titik temunya ada pada ‘identitas bersama’ (kalimatun sawa) demi terwujudnya cita-cita formalisme Islam.  Mereka yang ‘hijrah puritan’ bersitegap dengan ’tabarruj’, menampakkan identitas dan gerakannya lewat dakwah. Bagi mereka yang ‘hijrah jihadis’ tetap tidak pernah ‘mati gaya’ walau dalam ‘gelap-gelapan’.

Hijrah dalam pembacaan ini minimal menguak pemahaman baru (qoul jadid). Pelan tapi pasti, hijrah telah beralih rupa menuju pemaknaan yang verbalis, militan dan ekstrem.  Sementara bilamana mengikuti pendapat lama (qaul qodim), hijrah merupakan migrasi untuk membangun sebuah peradaban adiluhung dari yang tadinya barbar menjadi peradaban berkemajuan nan luhur secara fisik maupun mental (tsaqofah wal hadhoroh).
Terus terang, melihat daripada ontran-ontran hijrah yang bertangkus mungkus ini, blarrr, saya kok seperti ‘dipaksa’ untuk sepintas berpangkal pada cakrawala gerakan sosial. Tapi--maaf--hanya berhenti di sini saja. Karena selanjutnya yang ‘hardcore’ adalah menyibak ‘pada sebuah pengajian’. Konon, kata dosen pembimbing, supaya tidak ‘gagal fokus’.

Dibawah Duli Ngaji
Sebut saja namanya Joni. Saya bertemu dengan Joni di sebuah kota di Sumatera. Dia berdarah Jawa, tapi lahir di Sumatera. Istilah yang masyhur Pujakusuma, putra Jawa kelahiran Sumatera. Jalan cerita Joni hingga dia hijrah dan mengambil ‘jalan pintas’ langsung ke ‘jalur keras’, bagi saya begitu menambat hati. Selidik punya selidik, Joni melangkah ke jalan ekstremisme dimulai di sekolah menengah. Saat itu, Joni diundang oleh teman sekelasnya untuk ikut serta dalam apa yang dikatakan kepadanya sebagai kelompok belajar. Dari awal diajak, tampak Joni sudah bisa merasakan ‘ngeh’ bersama kelompok itu. Ya ada ‘kemistri’ yang mengalir. Menurut Joni, kok tidak seperti pengajian lain yang pernah dia ikuti. Pengajian yang satu ini langsung ‘tandas dan tegas’, sesuai hadits qulil haqqa walau kana murron, katakan walaupun pahit, yaitu membahas jihad bukan sebagai sesuatu yang awang-awang, tetapi sedemikian rupa sehingga seperti ‘memupuk kembali’ gairah yang selama ini terpendam.

Dari pengajian ini, Joni diundang ke kelompok yang lebih eksklusif yang ternyata digelar oleh JI, meskipun afiliasinya tidak diungkapkan kepadanya pada waktu itu. Di gelaran ngaji itu, dia diajari al-Quran dan aspek-aspek pandangan dunia JI. Ketika JI mulai mengirim jihadisnya ke  Ambon, yang kala itu terjadi konflik komunal, Joni sontak berhasrat pergi. Dia siap untuk komitmen itu. Walaupun saat itu, Joni belum mendapatkan pelatihan militer. Mentor JI-nya awalnya mencegahnya lantaran masih ‘polosan’, belum terlatih secara militer. Namun, Joni tetap ngotot ingin pergi ke Ambon. Karena kengototannya itu, akhirnya Joni diizinkan untuk mengambil pelatihan militernya dengan JI di Ambon dan Joni pun memperoleh pengalaman tempur. Paska konflik, Joni balik kampung. Di kampungnya dia terus bersosialisasi dengan anggota JI dan berpartisipasi dalam kegiatan JI. Setelah empat tahun kegiatan di berbagai tingkatan di JI, Joni akhirnya dianggap cukup berkomitmen dan diizinkan untuk dibai'at. Resmilah Joni menjadi anggota JI.

Cerita lain, suatu waktu untuk melampiaskan  ‘panggilan bohemian’, saya bertemu dengan sebut saja namanya Imam. Beberapa hari jalan bareng sama Imam putar-putar Jawa Timur hingga menginap semalam di rumahnya sangat mengasyikkan. Sepanjang perjalanan meracau ngalor ngidul, dari yang ‘panas-panas sedap’ sampai yang ‘panas-panas ngeri’. Ya, terpacak ‘nostalgia kombatan’ yang menyeriang dan menyingkap tabir kelam.
 Imam berasal dari sebuah kota di Jawa Timur yang dikenal dengan kota santri dan banyak pesantren bercorak tradisional. Imam lahir dari keluarga ‘Islam tradisional’  yang  kuat. Keluarganya hampir semuanya terlibat dalam kepengurusan sebuah ormas besar di Indonesia.

Senyampang waktu, Imam  ujug-ujug ingin hijrah. Dia mengaku illfeel hidup dilingkungan Islam yang itu-itu saja terlebih tidak jelas ‘dalil’ amalannya. Dia ingin move on. Di pertengahan 1990-an, dia mulai menghadiri pengajian di pesantren Baitul Amin yang berafiliasi pada ormas Islam modernis di daerahnya. Dia melakoninya setiap malam. Salah satu gurunya, yang bersimpati dengan JI, mengarahkan Imam untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh seorang ustadz dari pesantren JI terdekat, yaitu Darus Syahadah. Setelah bersahabat dengan ustadz ini, Imam mulai pergi ke rumahnya untuk belajar tentang tarbiyah Islam dan tauhid. Karena pengajian di Darus Syahadah lebih intensif daripada semua yang telah dihadiri, memantik hasrat menggebunya untuk bergabung dengan kelompok ini meskipun dia tidak tahu siapa mereka saat itu.

Imam kemudian menghadiri apa yang disebutnya sebagai ‘pengajian khusus’ dan menjadi bagian dari kelompok yang terdiri dari 20 orang selama hampir dua tahun. Pengajian khusus ini ditutup untuk umum dan diadakan di rumah-rumah pribadi. Mereka diajari oleh berbagai ustadz dari beberapa jamaah. Dari sana, Imam diundang oleh seorang ustadz dari Al-Islam untuk bergabung secara intensif selama 3 hari. Pengajian dilanjut dengan materi 3 hari tadrib asykari (pelatihan militer) di pegunungan yang mencakup keterampilan berlari, berkemah dan bertahan hidup.

Setelah sekitar 6 bulan pengajian khusus, Imam diundang untuk menghadiri pengajian dengan materi lanjutan yang mencakup iman, hijrah dan bai'at. Materinya juga membahas jihad, yang didefinisikan sebagai qital fi sabillah dan dipatok wajib. Di materi lanjut ini, Imam bertemu dengan orang-orang yang direkrut dari tempat lain untuk pertama kalinya. Pengajian yang diikutinya sekarang bergeser dari tingkat pengajian khusus ke tingkat halaqah yang bahkan lebih eksklusif.

 Imam dibai’at pada tahun 1999. Inilah capaian Imam menuju titik komitmen utama dan menjadi bagian dari komunitas eksklusif yang terjalin erat. Dia diberi peran menjadi wakil amir untuk daerahnya (manthiqi). Pada titik komitmen berikutnya, Imam menawarkan diri untuk berlatih di kamp Abu Bakar di Filipina pada Januari 2000, yang membuatnya menjadi bagian dari generasi Mindanao JI. Sah sudah, hubungannya dengan JI makin menguat.
Gambaran lengkap jalur pengajian ke JI—berpijak dari sampling kisah Joni dan Imam--menunjukkan bahwa masuk ke JI sebagai orang luar, yaitu sebagai seseorang yang bukan dari keluarga jihad atau pesantren JI, adalah proses yang sangat melelahkan, mulai dari pengajian yang besar menjadi semakin kecil, eksklusif, tertutup dan yang rahasia. Proses indoktrinasi dan sosialisasi bertahap ini memastikan bahwa hanya rekrutan yang paling berkomitmen yang menjadi anggota. Itu memungkinkan penilaian yang cermat terhadap karakter individu, dan itu meyakinkan bahwa pada saat ia menjadi anggota, lingkaran teman-teman dan mentornya menyempit dan menjadi fokus pada in group.
Apa mau dikata, untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok jihad tidak simsalabim, tetapi seringkali melalui proses yang cukup panjang.  Uniknya, bagaimana pengajian menjadi jalur pilihan bagi orang luar, yaitu mereka yang tidak tumbuh dalam keluarga jihad atau pernah ikut kegiatan yang nyerempet-nyerempet jihad, atau bahkan tidak punya ‘tampang jihadis’ sama sekali.

Bagaimana bisa-bisanya seseorang hijrah dan bahkan bergabung dengan kelompok ekstrim keagamaan? Saya tak perlu ‘blusukan’ untuk menangkar teori. Why they join, secara cukup mencuplik hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze (2018). Dari penelitiannya, terungkap ada rute-rute yang dilalui oleh seseorang untuk hijrah menjadi jihadis. Disamping melalui kekerabatan, pesantren atau sekolah dan konflik lokal, yang juga sangat strategis adalah melalui pengajian.
Pengajian menjadi sarana efektif untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin radikal. Hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze, menunjukkan sejumlah 87 dari 106 militan muslim bergabung dengan kelompok radikal melalui pengajian. Mereka telah menjadi komponen kunci dalam perekrutan muslim ke dalam gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) sejak 1980-an serta Jamaah Islamiyah (JI) sejak 1993, hingga mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia sejak 2013. Pengajian bagi kelompok radikal berfungsi secara mandiri. Dalam bentuk pengajian yang lebih eksklusif, mereka mempersiapkan seorang calon ‘íkhwan’ untuk diindoktrinasi. Disamping itu, ikatan sosial yang terbentuk kuat dalam pengajian yang lebih eksklusif menjamin kesetiaan para ikhwan terhadap organisasi militan Islamis.

Proses rekrutmen JI melalui pengajian dari pembentukannya pada tahun 1993 hingga 2002 adalah sarana persiapan (i’dad) yang dikontrol ketat dan bertujuan untuk membangun keanggotaan yang benar-benar dapat diandalkan dan berkomitmen serta terikat oleh kesetiaan tidak hanya kepada amir, tetapi juga rekan ikhwan mereka. Dari perekrutan melalui pengajian terbuka hingga meningkat pada tahap-tahap pengajian yang lebih eksklusif dapat berlangsung mulai dari 18 bulan hingga 5 tahun. Durasi waktu pengajian tergantung pada tingkat komitmen yang ditunjukkan di berbagai tahapan, frekuensi kehadiran, dan hubungan yang dibangun di dalamnya.
Proses indoktrinasi dan sosialisasi dalam metode pengajian bisa memastikan bahwa hanya rekrutan yang paling berkomitmen bisa menjadi anggota. Ini memungkinkan penilaian yang cermat terhadap karakter individu. Dan itu akan meyakinkan bahwa pada saat seseorang menjadi anggota jaringan, maka geraknya telah menyempit dan menjadi lebih fokus pada in group.

Sebagaimana halnya jalur pengajian JI menjadi semakin penting setelah pemboman Bali 2002 ketika pesantren atau madrasah JI berada di bawah pengawasan aparat. Namun, pada saat yang sama, proses bergabung menjadi kurang ketat dan lebih ad hoc, karena JI berevolusi menjadi organisasi yang "lebih longgar" setelah penangkapan pasca-Bali sejumlah besar kader-kader utama JI, sementara kader yang tersisa sembunyi dan bergerak di bawah tanah. Serangkaian penangkapan kedua menghantam JI pada tahun 2007 di akhir konflik Poso yang mendorong JI mengambil langkah mundur dari jihad di Indonesia, namun tetap memacu reorganisasi untuk tahap periode konsolidasi.

Terpampang sudah, pengajian telah menjadi inti dari strategi rekrutmen JI. Hampir semua dari mereka yang disebut sebagai "Neo-JI" yang ditangkap antara dari 2014 hingga 2019 sehubungan dengan kasus memproduksi, memiliki, mengangkut, menyimpan senjata dan bahan peledak, dan juga pendanaan, semuanya datang ke JI melalui pengajian. Selain itu, nyaris semuanya terlihat pada awalnya dalam pengajian terbuka di masjid-masjid yang tidak terkait dengan JI dimana mereka "dipandu" dalam pengajian yang lebih kecil dan lebih eksklusif sebelum akhirnya mengambil bai'at.

Meskipun ada tahapan yang akan mengubah kualitas beberapa anggota JI, sebagai akibat harus bergantung pada pemilihan calon yang potensial pada pengajian yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi arus utama atau di kampus-kampus universitas, hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah anggota yang potensial dan tidak memungkinkan untuk menargetkan jenis-jenis individu tertentu. Laporan akhir tahun JI oleh Direktorat Tarbiyyah untuk tahun 2013–2014 menunjukkan bahwa JI secara strategis berusaha merekrut mahasiswa, dokter, perawat, bidan, apoteker, ahli kimia, teknolog informasi, insinyur mekanik, listrik insinyur, dan ahli metalurgi untuk membangun masyarakat Islam sebagai landasan membangun negara Islam. Bahkan dengan munculnya internet dan media sosial, pengajian tetap menjadi jalur utama, seperti halnya yang dilakukan oleh  kelompok pro ISIS di Indonesia.

Salah satu kelompok pro-ISIS yang melakukan metode pengajian dipimpin oleh Syamsudin Uba. Dia mengadakan pengajian untuk kelompok-kelompok pria, wanita, pemuda, dan masyarakat umum secara terpisah. Dia juga mengadakan pengajian di kampus sampai pernah diusir. Uba kemudian mendirikan Uba Al-Aqsha Haqquna yang pada awalnya didirikan sebagai organisasi pro Palestina. Uba  secara diam-diam menggunakan pengajian Palestina untuk menyebarkan pesan ISIS dan menggunakan pengajian sebagai strategi untuk merekrut ikhwan menjadi pro-ISIS. Misalnya, Uba pernah menghelat tabligh akbar pada 30 Juli 2017 yang digunakan untuk wahana mengkampanyekan idiologi ISIS. Setelah khotbah-khotbah umum seperti itu, akan selalu ada tindak lanjut, misalnya melalui pesan-pesan WhatsApp yang mengundang orang-orang untuk bergabung dalam pengajian.
Bagi para pendukung ISIS Indonesia, komitmen yang sebenarnya mengharuskan pertama membangun hubungan relasional dengan pendukung ISIS di Indonesia dan kemudian meninggalkan seluruh jaringan sosial mereka untuk kehidupan baru di Suriah. Tak kalah gahar, bagi kelompok lain baik puritan atau ekstrem ‘tak berkekerasan’ terus bersigap membangun jaringan demi memantabkan harokahnya. Seluruh proses pendinamisan jaringan serta rekruitmen itu dijalankan lewat pengajian.

Nah, dari sekerat gambaran ini, kita bisa menatap bagaimana Indonesia di masa mendatang. Tumbuhkembangnya ‘generasi hijrah’, silahkan menakar-nakar, apakah ia ‘prediksi’ atau ‘potensi’ atau bergerak simultan?

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eksnapiter.

Tidak ada komentar