PWNU Banten News

Cerita dari Blora untuk Mbah Mun

                                                      Foto: IKA PMII DKI

Cerita dari Blora untuk Mbah Mun
Oleh: Soffa Ihsan

Selasa 6 Agustus 2019 sekira pukul 9.00 WIB, saya tengah asyik melotot mata di depan laptop. Tiba-tiba ada bunyi di hape saya tanda WhatsApp masuk. Seketika langsung saya sambar itu hape jadul. Saya baca “Innalillahi wa innailaihi roji’un...nembe kapundut KH Maimun Zubeir selasa di Mekkah jam 04.17”. Ups, berita KH Maimun Zubeir wafat selasa 6 Agustus 2019 di Mekkah selagi beliau menjalankan ibadah haji. Blarrr, hati saya seperti tergodam. Saya tercekat tak mampu bersuara. Sambil menyandar di kursi dengan kaki mengangkang di meja dan mengepulkan asap rokok, saya tercenung. Tak terasa air mata meleleh. Saya pun terisak tak kuat menahan sedih. Maut al-‘alim maut  al-‘alam, wafatnya seorang alim berarti matinya alam.

Yah, bulir-bulir air mata yang kian menderas sontak menggeret pada memori ingatan saya pada masa-masa kecil di sebuah kota imut berhutan jati, Blora, Jawa Tengah. Selaksa membuka ‘kotak pandora’ mendadak nyaris menghambur semua  serpih-serpih kenangan indah tersambung dengan sosok KH Maimun Zubeir. Bayang-bayang postur, gestur dan cara komunikasi KH Maimun Zubeir masih tertancap menghujam dalam benak saya, dan makin mengiang nan menderu. Duhai waktu, seandainya engkau mampu mengembalikan masa itu!

Kekerabatan ala Santri
Sungguh, masih terpahat dalam ingatan saya, kala itu, saat saya masih kecil bersama Abah saya kerap bertandang ke Pesantren Al Anwar, Sarang tempat dimana Mbah Mun,--begitu sapaan sohor untuk KH Maimun Zubeir--bermukim dan mengajar para santri. Demikian pula, terkenang saat-saat Mbah Mun sering mampir ke rumah sederhana saya berbentuk limas khas Jawa di Blora menemui Abah saya. Abah saya KH Ihsan Fadhil memang akrab dengan Mbah Mun. Usia Mbah Mun lebih muda dari Abah saya. Mbah Mun saat itu sudah dikenal diseantero daerah-daerah sebagai kyai kharismatis dan juru dakwah yang piawai. Mbah Mun juga sering diundang ‘ngisi pengajian’ di desa-desa sekitar Blora. Sementara Abah saya hanya seorang ‘kyai kampung’ yang ngajar ngaji masyarakat sekitar dan kadang dakwah lewat pengajian di desa-desa. Kedekatan Abah saya dengan Mbah Mun juga direkati dalam jejaring NU. Mbah Mun menjadi tokoh di jajaran NU, sedang Abah saya ‘hanya ‘ sebagai Rois Syuriah PCNU Blora. Yah, ini keberuntungan buat saya, semenjak kecil saya sudah dihadapkan dengan teladan sosok-sosok yang bergulat dalam ‘kerja peradaban’ lewat keaktifan mengajar ke masyarakat, walau sekecil apapun.

Kedekatan keluarga saya dengan Mbah Mun terasa semakin membentuk seperti dalam terma antropologi, yaitu kekerabatan (kinship). Anak keturunan Abah saya yang tinggal di sebuah kecamatan di Bangilan, Tuban, Jatim secara lebih intensif membangun hubungan makin karib. Anak-anak mereka seperti berhukum ‘wajib’ nyantri di pesantren Al-Anwar, Sarang. Saya sendiri yang ‘nyebrang’ tidak nyantri di Mbah Mun, tapi di Jawa Timur dan Yogyakarta. Untuk urusan perjodohan, juga teranyam sedemikian rupa. Ada keponakan saya, yang anaknya dijodohkan dengan ‘sopir’-nya Mbah Mun. Ada juga, anaknya keponakan saya yang dipinang oleh putra Mbah Mun, yaitu Gus Kamil dan kini memiliki 7 anak. Keponakan saya sendiri menikah dengan seorang ‘Gus’ dari pesantren di Tegal yang lulusan pesantrennya Mbah Mun.

Di Blora khususnya dilingkungan masyarakat santri, posisi kyai cukup menjadi tumpuan dalam banyak hal. Bukan hanya terpaku soal agama, tetapi juga tetek bengek urusan ‘keduniawiaan’. Ada cerita nyata, pernah seorang santri dari Blora yang silaturahmi ke Mbah Mun hanya untuk menanyakan mana yang lebih baik beli vespa atau motor yamaha. Mbah Mun pun kabarnya menjawab dengan terkekeh tapi tetap memberikan nasehat. Pokoknya banyak cerita santri Blora yang permintaannya lucu-lucu saat sowan ke Mbah Mun. Dan ajibnya, Mbah Mun menindaki segala keluhan dan urusan masyarakat yang datang dengan penuh kearifan dan kelembutan. Apa yang lalu disampaikan Mbah Mun adalah qaulan layyinan (ucapan yang lembut) dan akhirnya bagi masyarakat, apa yang diucapkan Mbah Mun begitu menyentuh, tumus menuju hati yang terdalam (qaulan balighon). Ya, Mbah Mun sebagai personifikasi begawan yang mampu berdiri di segala penjuru dengan mutiara manikamnya.

Posisi kyai sebagaimana pernah ditulis oleh antropolog Clifford Geertz (2014) sebagai cultural broker. Kyai menyambungkan budaya dengan keagamaan dan itu dijelaskan dengan renyah sesuai kadar pemahaman masyarakat. Sehingga tidak terjadi ‘benturan’ antara budaya dan ajaran agama. Dalam ungkapan M.C. Ricklefs (2013), ketika terjadi ketegangan santri-abangan yang  meruncing, namun posisi kiai tetap mendapat penghormatan yang tinggi dalam masyarakat pedesaan Jawa. Fakta ini bertolak belakang dengan kondisi saat ini dimana tumbuhkembang para pendakwah yang langsung menggampar adat istiadat masyarakat. Tudingan bid’ah, khurofat dan takhayul diberondongkan kembali. Akibatnya, tak sedikit terjadi konflik, seorang ustadz diusir dan dilarang berceramah di suatu daerah. Bahkan pula terjadi bentrokan fisik antara masyarakat dengan komunitas puritan.
Bukan hanya soal pertalian berkontur kekerabatan seperti itu saja yang mendekatkan keluarga saya dengan Mbah Mun. Urusan politik juga ikut-ikutan begitu melekat karena sosok Mbah Mun. Mbah Mun sedari dulu aktif di PPP. Hingga akhir hayat beliau di tahun 2019, beliau masih tercatat sebagai Ketua Majelis Syariah PPP. Keluarga saya yang di Bangilan tersebut tak pernah goyah dan tetap memilih PPP, kendati setelah era reformasi muncul banyak partai yang juga lahir dari ‘rahim’ NU. Keluarga saya malah boleh dikata sebagai pendukung fanatik dan militan terhadap PPP. Lagi-lagi, ini lantaran figur karismatis Mbah Mun.

Fakta ini dalam tradisi santri nahdhiyin galib dikatakan sebagai ‘ngalap berkah’. Tradisi ini muncul bukan karena ‘taqlid buta’, tapi membudayanya kecintaan pada orang yang berilmu. Kecintaan yang tidak didasarkan karena pangkat, jabatan atau harta seseorang, melainkan karena berdasar pada ketakziman terhadap ilmu. Cinta pada ilmuwan yang memiliki integritas moral dan kedalaman spiritual menjadi representasi dari wujud pengamalan ajaran Islam. Inilah yang membedakan dengan budaya yang muncul di era saat ini yang oleh filsuf posmo Frederick Jameson digambarkan sebagai sebuah dunia yang dangkal, dunia superfisial. Keterpesonaan terhadap seseorang lebih karena hal-hal yang ‘lahiriah’ yang dibalut oleh simbol-simbol material dan atas nama milenial sehingga menjadi hipnosa yang bertalu-talu dan kerap membuat lupa daratan.

Kenangan Tiada Terperi
Saya benar-benar teringat, sepeninggal Abah saya, Mbah Mun masih kerap mampir ke rumah dan bertemu dengan kakak saya, KH Imam Muzakka Ihsan. Saya ditinggal wafat Abah saya ketika duduk di klas 4 sekolah dasar. Jadilah saya menyandang sebagai yatim. Belum lama saya tersemat sebagai yatim, suatu petang menjelang maghrib, Mbah Mun tiba-tiba datang ke rumah dan langsung menuju ke mushola. Saat itu, saya sedang mengaji. Mbah Mun berjalan mendekati saya dan lalu memegang dan mengelus-elus kepala saya seraya berdoa. Mbah Mun komat-kamit melantunkan doa yang saya waktu itu belum paham apa-apa. Yang saya tahu, doa berbahasa Arab dan diucapkan beliau dengan fasih dengan timbre suara yang khas. Mbah Mun tentu mafhum, bagaimana memperlakukan seorang anak yatim sesuai ‘dalil syar’i’  terlebih  ‘yatim anyaran’  seperti saya waktu itu.
Setelah wafatnya Abah saya, saya masih sering diajak kakak saya sowan ke Mbah Mun di Sarang. Sekedar silaturahmi karena kerinduan dan demi meneruskan   pertalian kekerabatan. Dan juga kadang ada keperluan praktis untuk minta wejangan dari Mbah Mun. Mbah Mun juga masih kadang mampir ke rumah saya dan ketemu dengan kakak saya. Saya yang kala itu masih ‘anak ingusan’ tak jarang ikut nimbrung setelah mencium keduabelah tangan Mbah Mun.

Dalam satu kesempatan, saya yang saat itu berstatus mahasiswa berdua bersama kakak saya sowan ke Mbah Mun. Sore saya tiba di Sarang dan langsung menuju rumah Mbah Mun yang berimpitan dengan gothakan santri. Ruang tamu Mbah Mun sejak dari kecil saya hingga saya dewasa masih tampak tak berubah. Sederhana namun memancarkan sinaran keakraban dan keberkahan. Beruntung, tamu sepi. Saya dan kakak saya langsung diterima Mbah Mun. Jadi hanya bertiga di ruang tamu. Setelah sekira hampir satu jam, saya dan kakak saya mohon diri pamit. Sebelum pamit, tak disangka Mbah Mun memberikan doa pada saya. Padahal saya tidak minta doa ke Mbah Mun. Mungkin Mbah Mun yang sudah ‘ma’rifat’  dan ‘mukasyafah’ ini tahu apa yang dibutuhkan untuk jadi pegangan buat saya yang dhoif ini. Saya pun diimlak untuk merapalkan doa. Aneh, doa yang diberikan Mbah Mun ke saya itu kok ‘hibrid’, alias campuran pakai bahasa Jawa dan sedikit Arab. Bismillahi kun fayakun, ngrekso dining Allah, jinogo diniing malaikat papat, pinayungan dining poro nabi.................. Mbah Mun berpesan agar doa itu dibaca khususnya saat mau pergi atau ada hal-hal yang mendesak. Hingga kini, doa itu masih terus saya lafalkan.

Waktu terus berjalan. Selang puluhan tahun, ibu saya menyusul Abah saya, dipanggil oleh Sang Kekasih Sejati, Allah Robbul Alamin. Saat itu, saya baru menyelesaikan fresh graduate dari Yogya. Pagi-pagi saat jenazah ibu saya dimandikan, Mbah Mun mendadak hadir bertakziah. Saya yang masih limbung meratapi kepergian ibu saya itu cukup dibuat kaget. Kontan saya menghampiri Mbah Mun dan langsung duduk bersimpuh dipangkuan Mbah Mun sambil menangis sejadi-jadinya. Saya ciumi tangan dan lutut beliau. Beliau merangkul saya dengan menundukkan kepala seraya memanjatkan doa.
Acara haul untuk Abah saya yang dihelat setiap tahun kala itu, sudah langganan mengundang Mbah Mun—istilah populer dilingkungan santri—sebagai  pemberi mauidzhoh hasanah alias penceramahnya. Dan Mbah Mun selalu memprioritaskan datang biarpun ada undangan pengajian lain. Pengajian menjadi daya tarik sendiri dengan menghadirkan Mbah Mun, sehingga selalu dijubeli ribuan pengunjung. Menariknya, dalam setiap ceramahnya di haul tersebut, Mbah Mun mengudar sejarah dari mulai ‘Babad Tanah Timur Tengah’  hingga ‘Babah Tanah Nusantara’.  Sejarah Timur Tengah disesambungkan dengan sejarah nusantara. Mbah Mun begitu hafal di luar kepala bahkan untuk urusan lekuk-lekuk wilayah negeri dari Irak sampai Saudi. Padahal waktu itu masih sangat langka da’i yang mampu menjelaskan sejarah seperti itu. Sekarang memang tumbuh penceramah yang konten ngajinya mengulas soal sejarah nusantara. Kita bisa mudah tonton lewat youtube. Pastinya, Mbah Mun sudah merintis jalan sebagai ‘pionir’ dalam mewedarkan tentang sejarah nusantara yang kini memunculkan eforia Islam Nusantara.

Ala kulli hal, kita kehilangan tokoh bangsa yang bijak bestari, yang bisa diterima disemua kalangan. Saya cukup tersentak mendapat kiriman WhatsApp dari seorang eks napiter dari Poso ucapan bela sengkawa atas wafatnya Mbah Mun. Banyak pula para ‘Ikhwan’ yang mengirim ucapan senada. Mereka merasa kehilangan ulama panutan, kendati tidak berasal dari ‘jaringan’  keulamaan yang dirujuk mereka.

Yah, jejak-jejak hikmah Mbah Mun bila ditulis seolah tiada habisnya. Di ujung remujung ini, izinkan saya menumpahkan penyesalan. Tahun 2011, saya didapuk untuk menulis biografi Mbah Mun. Outline sudah saya siapkan dengan rapi jali. Dua kali saya ke Sarang dan sudah siap berlama-lama ngendon di sana untuk waawancara dan menghimpun data. Gus Kamil putra Mbah Mun yang nikah dengan saudara saya sudah siap ‘menampung’  saya tidur di rumahnya. Tapi apa dikata, gatot, gagal total, gara-garanya, ‘funding’ tidak jadi mengucurkan dana. Duh biyung, bukan lantaran itu saya menyesal, tapi gara-gara ‘niat’ saya yang cari ‘proyek’.  Maaf kan Mbah Mun. Lahul Alfatihah.  

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eksnapiter.

Tidak ada komentar