PWNU Banten News

Liputan: Jihadis Literasi Siap 'Merudal' untuk Negeri


Jakarta (02-01-2020). Pertemuan di markas Rudalku di Pasar Minggu, Jakarta Selatan siang itu, rasanya cukup mengasyikkan.  Pada sebuah rumah yang kalau digolongkan sebagai rumah hunian. Suasana komplek siang itu sepi. Meski cuaca cukup panas, untung ada pohon dan tanaman yang cukup rindang disekitar rumah, membuat ademlah. 

Seorang laki-laki berperawakan terbilang kecil dan berkaca mata menyambut saya dengan ramah dan langsung mempersilahkan masuk. Gaya bicaranyapun kental dengan dialek Jawa.  Soffa Ihsan memang berasal dari sebuah kota imutl di Jawa Tengah, yaitu Blora. Satu kampung dengan penulis besar yang melahirkan karya ‘Bumi Manusia’  yang sudah dilayarlebarkan, yaitu Pramoedia Ananta Toer. 

Saat masuk halaman rumah, terpampang di tembok atas garasi ada plang kayu bertuliskan: “Jihadis, Literasi, Library, Gallery”.  Mata saya berjelalatan melihat-lihat ‘daleman’ markas. Saya lalu dipersilahkan duduk di sebuah meja payung.  Di meja payung yang mendempet dengan pagar, ada beberapa foto-foto dan hiasan kayu terpampang.  Di tembok sekitar juga tertempel foto-foto  dan klipingan resensi buku yang ditaruh di bingkai tampak tertata rapi. Ada juga gitar listrik yang dipajang beserta soundnya.  Sepeda lawas disandarkan di batang pohon terasa sebuah ‘seni instalasi’. Sangkar burung dan beberapa manik-manik tergantung seakan menambah nuansa seni instalasi. Ada lagi piringan hitam yang digantungkan berjejer. Wah, yang empunya rumah ini kayaknya suka hal-hal yang berbau seni.  Benar juga, Soffa Ihsan memang pecinta seni dan dulunya pernah punya grup band yang mengusung musik rock. Disamping, tentunya ‘penggila buku’.  Begitu masuk ruang tamu, lemari berjejer berisikan buku-buku. Kanan kiri rak dengan buku berjejer rapi. Dia juga punya kamar tersendiri yang juga dipenuhi buku-buku.  

Soffa Ihsan lalu mengajak saya melihat isi garasi yang dijadikan galeri dan tempat untuk kegiatan Rudalku. Wow, menarik juga, banyak tempelan foto dan kliping media menghiasi tembok garasi. Beragam isinya. Ada  foto-foto kegiatan Rudalku, artikel media cetak mengenai literasi, buku-buku yang ditata di rak gantung dan juga postingan berbagai media yang mengangkat para pegiat literasi. “Dengan memajang para pejuang literasi dari berbagai daerah ini,  saya mendambakan suatu saat mereka yang tergabung di Rudalku ini akan seperti itu,’  papar Soffa Ihsan yang lebih senang  menyebut dirinya hanya seorang marbot.

Siap Merudal
Pendirian Rudalku adalah keterpanggilan untuk ikut menggalakkan literasi yang di negeri ini terhitung masih minim. Banyak kalangan yang berteriak-teriak pentingnya literasi untuk menciptakan generasi yang cerdas. Nyatanya, masyarakat umumnya lebih senang beli gadget daripada beli buku. 

Ajibnya, yang membedakan Rudalku dengan komunitas literasi lainnya adalah sasarannya. Bukan masyarakat umum yang diajak bergabung, tapi mereka yang dulunya pernah terjerembab dalam tindak pidana terorisme. Ya, mereka yang berstatus eks napiteroris (eks napiter).  Ngeri-ngeri sedap bukan?

Bagi Soffa Ihsan,  ini menjadi tantangan yang ‘sedap-sedap asyik’.  Tak apalah, Soffa Ihsan yang sudah malang melintang sampai ke pelosok-pelosok untuk bersapa dengan para kombatan dan dalam rangka penelitian soal radikalisme dan terorisme, tantangan ini justru lebih mamacu ghirahnya untuk mewujudkan sesuatu yang berguna. 

Ya, Soffa Ihsan mengajak pada ‘Ikhwan Rudaller’  untuk mengisi rumah mereka dengan buku, membuat perpustakaan pribadi di rumah,  lalu menjadikan perpustakaan itu sebagai taman baca bagi warga sekeliling. Soffa Ihsan kerap menyampaikan pada ‘ikhwan Rudaller’ bahwa  rumah tanpa buku seperti tubuh tanpa roh. 

Ini yang Soffa Ihsan sebut pendekatan literasi untuk deradikalisasi. Sebuah langkah inovatif yang perlu dikembangkan. Selama ini, memang BNPT sudah melakukan deradikalisasi untuk  eks napiter dan napiter. Cuma, pendekatan literasi ini yang belum dilakukan dan belum dilirik sebagai pendekatan yang ampuh. Soffa Ihsan terus berfikir tentang metode deradikalisasi yang efektif. Soffa Ihsan melihat pentingnya pendekatan deradikalisasi yang out of the box, bukan hanya melulu begitu-begitu saja atau mengikuti kelaziman. 

Nah, dari sinilah, Soffa Ihsan lantas bersitegap untuk melakukan pendekatan literasi. Dan ini dilakukan secara komprehensif, tidak hanya bagi-bagi buku tanpa ada kegiatan lanjutannya. Dengan mengusung tagline “Banyak Baca jadi terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran’, terbentuklah  Rumah Daulat Buku disingkat Rudalku. Konsepnya sederhana, dengan berbasis rumah dan kembali ke buku cetak. Rumah bukan hanya tempat istirahat atau bertemu keluarga saja, tetapi rumah bisa diberdayakan menjadi wahana untuk kegiatan yang kreatif dan bermanfaat bagi sesama. Begitupun, perlu kembali ke buku cetak karena membaca berarti dihadapan buku nyata bukan maya lewat internet saja. Ini sekaligus upaya untuk meredam radikalisme dan ekstremisme yang saat ini tidak sedikit orang khususnya anak muda menjadi ekstrem karena lebih banyak membaca internet. Dengan membaca buku cetak, orang akan ‘dipaksa’  untuk menyelesaikan bacaannya, tidak meloncat-loncat laiknya baca medsos. Ada pendalaman dan pengendapan bila baca buku cetak. Dengan pendalaman, maka akan terhindar dari berpikir yang cekak yang bisa memantik ekstrim. 


Para eks napiter ini memang termasuk kelompok yang masih rentan dari pengaruh radikalisme. Sudah cukup banyak bukti, eks napiter yang terpengaruh kembali paham radikal lantas melakukan aksi teror.  Ada isu-isu politik yang mencuat bisa mendadak mereka siuman kembali  untuk jadi ‘jihadis’. 

Ada tantangan tersendiri juga sekeluar mereka dari penjara. Bisa saja mereka teralineasi dari masyarakat. Kalau tidak ada pendampingan, bisa-bisa mereka kembali ke jaringan radikalnya. Proses reintegrasi sosial eks napiter ini pula yang juga menjadi tumpuan ikhtiar  bagi Rudalku. Mereka diharapkan melalui ‘jihad literasi’ bisa menjadi penggerak dan ‘pahlawan literasi’ untuk pemberdayaan masyarakat sekitar rumah mereka. Dengan begitu, sekaligus ini sebagai reintegrasi sosial bagi eks napiter untuk diterima kembali oleh masyarakat dan lalu mereka tampil sebagai pegiat yang memberikan kemashlahatan bagi masyarakat minimal masyarakat sekitar rumahnya. Karena itulah, eks napiter ini perlu perlu digandeng dan didampingi. 

Soffa Ihsan dengan Rudalku hendak melakukan upaya mulia itu. Dan Soffa Ihsan rela mengorbankan waktunya dan fokus untuk mengelola Rudalku. Menariknya, justru rumah pribadinya dijadikan sebagai markas Rudalku untuk kegiatan literasi bagi eks napiter yang bagi kalangan peneliti lain dianggap ‘bahaya’ karena berarti eks napiter kok sampai tahu rumah pemiliknya. “Yah, betapapun kecil upaya ini, buat saya, yang terpenting bisa bermanfaat buat sesama dan bagi negeri tercinta ini,’ ungkapnya. 

Seiring waktu, Soffa Ihsan mengajak teman-temannya yang sama-sama pecandu literasi dan juga peneliti. Soffa Ihsan mengajak Aep Saifullah yang sedang menyelesaikan program doktornya di UIN Syarif Hidayatullah. Lalu Mukti Ali, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo.  Masing-masing berbagi tugas dan peran. Dalam menjalankan kegiatan lebih banyak ‘online’  karena mereka juga punya kesibukan masing-masing. Pertemuan rutin lebih sering pas kegiatan pengajian di markas. Kalau yang dadakan bisa sewaktu-waktu. 

Ingin tahu kok namanya  “Rudalku”? Kesannya serem dan sangar. Ups, nama Rudalku ternyata punya makna ‘filosofis’. Kata “Rudalku”  terasa memiliki ‘kemistri’  dengan apa yang pernah dialami oleh eks napiter yang gabung di Rudalku. Ada ‘memori’  yang bisa ‘dialihkan’ dari yang dulunya apa yang ada di benak mereka hanya soal ‘kekerasan’ sekarang diarahkan untuk ‘merudal’ demi mewujudkan kemanfaatan bagi sesama anak  bangsa.  Dulu mereka ‘benci’  pada NKRI, sekarang dibalik supaya dengan ‘merudal’, mereka akan mencintai NKRI. “Tidak perlulah pakai bom panci, atau pistol atau apalah. Sekarang, langsung pakai rudal yang menghasilkan kebaikan. Rudal pakai buku. Kalau sedang Whatsapp-an di grup Rudalku, saya suka bilang, ayo kita rudal buku di sana,” tutur Soffa Ihsan.

September di sebuah Desa Terpencil
Awal September 2017, Soffa Ihsan blusukan di sebuah desa di Palembang. Namanya desa Bumiarjo perbatasan dengan Mesuji. Sekitar 5 jaman ditempuh dengan naik kendaraan dari Palembang kota. Di desa itu, Soffa Ihsan bertemu dengan Ustadz Kiagus Muhammad Toni, orang asli Palembang. Dia eks napiter dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dalam beberapa kasus teror di Palembang dan sekitarnya.

Toni, begitu sapaannya, hidup di sebuah rumah sederhana di desa Bumiarjo. Dia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Sehari-harinya, dia bekerja sebagai petani karet. Rumahnya yang begitu pelosok sekitarnya dirimbuni oleh ilalang dan perkebunan karet. Di situ, Soffa Ihsan sempat menginap semalam. Dalam obrolan yang mengasyikkan, tibalah Soffa Ihsan menawarkan untuk mendirikan Rudalku.  Tadinya Soffa Ihsan agak canggung dan ragu apakah Toni bersedia atau tidak. Ditempat yang terpencil seperti ini, ditambah kehidupan ekonomi Toni yang pas-pasan, apakah mungkin mau-maunya mendirikan perpustakaan yang tampak tidak ‘nendang’  untuk menunjang kehidupan ekonominya. Tak dinyana, sambutan Toni diluar dugaan. Toni siap mendirikan Rudalku. Toni mengaku sebenarnya dia suka baca buku, cuma karena keterbatasan akses, dia tak banyak bisa mewujudkan. 

Sepulang dari Palembang, Soffa Ihsan mengirim paket buku dan banner ke Toni. Begitu buku tiba di rumah Toni,  beberapa hari kemudian Toni mengirim foto lewat Whasapp. Di foto itu terlihat Toni bersama anak-anak kecil sekitar rumahnya tengah berkumpul dan membaca. “Saya sempat meneteskan air mata, rasanya haru banget melihat foto itu,” cerita Soffa Ihsan.

Yah, berawal dari Palembang 2017, Rudalku bergerak. Selanjutnya, 2 ikhwan lain dari Palembang yaitu Ani Sugandhi dan Abdurrahman Taib ikut bergabung di Rudalku. Keduanya sama-sama eks napiter dan satu jaringan dengan Toni di Jamaah Islamiyah (JI). Toni dan Ani Sugandi dalam satu kesempatan ke Jakarta mampir ke markas Rudalku di pasar Minggu. Dari pertemuan yang dilanjut di Jakarta itu, komitmen untuk berjejaring dengan Rudalku semakin menguat.  

Layar perjuangan terus terkembang. Soffa Ihsan secara mandiri dan mengendap-ngendap terus berusaha mendekati para eks napiter. Perlu kesabaran dan ketelatenan mengajak mereka yang dulunya tidak pernah bersentuhan dengan dunia literasi. Beruntung, Soffa Ihsan banyak berkawan dengan eks napiter dari berbagai daerah. Perlahan tapi pasti, terbukalah ‘kran’ jaringan para ikhwan untuk diajak ke Rudalku.  Hingga 2019, terbentuk 20 Rudalku. Kebanyakan di Jabodetabek, ditambah Medan, Semarang, Madiun dan tentunya Palembang. 

Mandiri itu Indah
Mengelola komunitas literasi seperti Rudalku ini memang butuh konsistensi, kesabaran dan ketelatenan. Sebenarnya banyak agenda kegiatan yang ingin diwujudkan. Namun, saat ini, yang bisa diwujudkan baru pengiriman buku secara berkala, pengajian bulanan untuk “ikhwan Rudaller’ yang berada di Jabodetabek yang berjumlah 14 orang serta kegiatan mentoring dengan mendatangi ke rumah masing-masing mereka. Mereka diminta untuk mengumpulkan anak-anak dan remaja sekitar rumah mereka sebanyak 10 hingga 20. Lalu diisi dengan kegiatan literasi seperti dorongan gemar membaca dan diselipi dengan penanaman pemahaman keagamaan moderat dan kebangsaan. Untuk pengajian, diadakan setiap bulan di markas Rudalku Pasar Minggu. Pengajian dengan menggunakan kitab berbahasa Arab al-Waroqot tentang ushul fikih, yaitu disiplin filsafat hukum Islam. Pengajarnya Ustadz Mukti Ali yang juga pengurus Rudalku. 


Beberapa agenda kegiatan yang belum bisa dilaksanakan lebih disebabkan oleh minimnya dana. Selama ini pendanaan secara mandiri-berdikari. Tidak seperti LSM lainnya yang mendapat dukungan dari pendana. Bagi Soffa Ihsan, ini tantangan yang indah nan mengasyikkan.

Bantuan memang ada. Tapi lebih banyak berupa buku-buku. Tentu ini sangat membantu. Pernah ada bantuan buku sebanyak 6000-an buku dan diangkut dengan gobox.  Bantuan buku juga datang dari perseorangan, lembaga dan penerbit. Buku-buku ini lalu didistribusikan ke ‘Ikhwan Rudaller” untuk mengisi perpustakaan dan taman baca mereka. Bagi mereka yang di Jabodetabek, buku diserahkan saat pengajian bulanan. Atau juga saat mereka dolan di markas Rudalku. Sedang yang berada di luar Jabodetabek, buku dikirim via  pos. 

Dalam kemandirian akan melahirkan kekuatan. Yah, kekuatan yang lahir dari gagasan justru lebih dahsyat manghasilkan inovasi dan kreasi. Indonesia saat ini membutuhkan insan-insan anak bangsa yang kreatif, inovatif dan mandiri untuk memberikan sumbangsihnya bagi masyarakat dan negara. Ditengah situasi negeri ini yang terancam oleh bangkitnya irasionalitas dalam rupa ekstrimisme, kiprah Rudalku setidaknya telah membantu untuk menahan laju kepicikan pikir melalui literasi.  

Tidak ada komentar