PWNU Banten News

Literasi untuk Moderasi melalui Ngaji Ushul Fikih dan Tasawuf


Literasi untuk Moderasi melalui Ngaji Ushul Fikih dan Tasawuf
Oleh Soffa Ihsan

Pengajian lazimnya menjadi ‘jalan masuk’ (pathway) bagi seseorang untuk menyesap ‘cahaya’ kesadaran. Namun, kini pengajian terlihat mengalami ‘likuifaksi’, pergerakan makna ditengah ‘gempa’ pengajian dimana-mana. Kini, pengajian seolah mau ‘ambles’ digeret dalam pemaknaan yang lebih ‘ngarab’, dengan istilah ta’lim, halaqoh atau talaqi. Di pesantren-pesantren tradisional dari dulu galibnya pengajian dilakukan dengan model sorogan dan bandongan. Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats.

Belajar dari Fakta
Bagaimana bisa-bisanya seseorang bergabung dengan kelompok ekstrim keagamaan? Saya coba mencuplik hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze (2018). Dari penelitiannya, terungkap ada salah rute yang juga sangat strategis, yaitu melalui pengajian.
Pengajian menjadi sarana efektif untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin radikal. Hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze, menunjukkan sejumlah 87 dari 106 militan muslim bergabung dengan kelompok radikal melalui pengajian. Mereka telah menjadi komponen kunci dalam perekrutan muslim ke dalam gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) sejak 1980-an serta Jamaah Islamiyah (JI) sejak 1993, hingga mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia sejak 2013. Pengajian bagi kelompok radikal berfungsi secara mandiri. Dalam bentuk pengajian yang lebih eksklusif, mereka mempersiapkan seorang calon ‘íkhwan’ untuk diindoktrinasi. Disamping itu, ikatan sosial yang terbentuk kuat dalam pengajian yang lebih eksklusif menjamin kesetiaan para ikhwan terhadap organisasi militan Islamis.

Salah satu kelompok pro-ISIS yang melakukan metode pengajian dipimpin oleh Syamsudin Uba. Dia mengadakan pengajian untuk kelompok-kelompok pria, wanita, pemuda, dan masyarakat umum secara terpisah. Dia juga mengadakan pengajian di kampus sampai pernah diusir. Uba kemudian mendirikan Uba Al-Aqsha Haqquna yang pada awalnya didirikan sebagai organisasi pro Palestina. Uba  secara diam-diam menggunakan pengajian Palestina untuk menyebarkan pesan ISIS dan menggunakan pengajian sebagai strategi untuk merekrut ikhwan menjadi pro-ISIS. Misalnya, Uba pernah menghelat tabligh akbar pada 30 Juli 2017 yang digunakan untuk wahana mengkampanyekan idiologi ISIS. Setelah khotbah-khotbah umum seperti itu, akan selalu ada tindak lanjut, misalnya melalui pesan-pesan WhatsApp yang mengundang orang-orang untuk bergabung dalam pengajian.

Pada 2017, kita pernah dihebohkan oleh hasil penelitian mengenai aktivitas para pendukung ISIS di masjid-masjid di 7 provinsi di Indonesia. Penelitian tersebut meneliti 41 masjid, dan menemukan bahwa 16 masjid dipakai untu kegiatan yang terkait dengan ISIS.
Memang tidaklah mengejutkan, karena sejak 2013 para pendukung ISIS terbukti banyak melakukan aktivitas mereka di masjid-masjid di seluruh Indonesia. Pada 31 Juli 2017, mereka melaksanakan pengajian terkait ISIS di sebuah masjid di Bekasi. Bahkan, jumlah 16 masjid tersebut hanya sebagai temuan awal saja dan bukan merupakan hasil final penelitian. Artinya, masih banyak lagi masjid yang selama ini digunakan oleh pendukung ISIS, yang belum sempat diteliti.

Heboh pula, berita Media nasional yang memberitakan baiat massal para pendukung ISIS yang dilaksanakan di Masjid Al Fata (Menteng, Jakarta Pusat), Masjid Baitul Makmur (Solobaru, Sukoharjo) dan Masjid Ridha (Biringkanaya, Makassar) pada tahun 2014. Namun masih banyak aktivitas pendukung ISIS di masjid-masjid lain yang luput dari perhatian media. 

Para peneliti mendapati bahwa sekitar Mei 2015, paling tidak 10 orang pendukung ISIS mengadakan rapat di masjid yang ada di dalam lingkungan Ponpes Miftahul Huda (Ciasem, Subang). Di sana, mereka melaksanakan baiat dan membentuk kepengurusan Jamaah Anshorul Khilafah Islamiyah (JAKI) Bandung Raya. Pada saat ini, JAKI lebih dikenal oleh masyarakat umum dengan nama Jamaah Ansharud Daulah/JAD). Pertemuan tersebut dipimpin oleh Khoirul Anam, pimpinan Ponpes Miftahul Huda.

Di antara 10 peserta pertemuan tersebut, 2 orang, yaitu Abu Faiz dan Abu Sofi tewas dan 2 orang lainnya Ivan Rahmat Syarif dan Rizal Dzurrohman ditangkap dalam sebuah penggerebekan Densus 88 di Waduk Jatiluhur pada 25 Desember 2016. Sementara itu, 1 orang lagi, yaitu Yayat Cahdiyat tewas  dalam kasus Bom Panci di Bandung; 2 orang, yaitu Agus Sujatno dan Sholeh Abdurrahman ditangkap terkait bom panci ini; dan 1 orang lagi yaitu Muslih ditangkap terkait bom bunuh diri di Kampung Melayu.

Contoh lain, pada Maret 2015, sekitar 20 orang mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah menjadi pendukung ISIS mengadakan kajian di Masjid Ukhuwah Islamiyah di lingkungan kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok.

Pasca pertemuan tersebut, beberapa orang diantara mereka melanjutkan diskusinya mengenai ISIS melalui group Telegram Kopi Hitam dan New Kopi Hitam. Anggota kedua group diskusi tersebut juga mantan anggota HTI. Mereka saling berbagi informasi tentang perkembangan ISIS dan cara-cara pembuatan bom. Dua orang diantara anggota di group ini adalah Munir Kartono alias Konspirasi Langit dan Bahrun Naim. Di kemudian hari, keduanya terlibat dalam aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo yang dilakukan oleh Nur Rohman pada 5 Juli 2016.

Para pendukung ISIS melakukan kegiatannya di masjid-masjid  secara tertutup. Misalnya, pada Oktober 2016, pimpinan JAK Kalimantan Timur, Joko Sugito alias Abu Adam, membaiat anak buahnya di Masjid Mujahidin di kelurahan Sengkotek, Loa Janan Ilir, Samarinda secara diam-diam pada malam hari. Baiat tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari persiapan rohani sebelum mereka melakukan aksi teror. Diantara yang ia baiat adalah Juhanda, pelaku Bom Samarinda yang meledak pada tanggal 13 November 2016.

Kembali Ngaji Kitab
Saat ini, negeri kita tengah menyeruak paham-paham puritan dan radikal berwajah politik identitas, conservative turn, sentimen keagamaan kolot, dan literalisme yang akhirnya memunggungi nalar kritis dan bahkan konflik antar paham yang tak jarang penuh umpatan dan tawuran hingga potensi aksi teror.

Bagaimana pendekatan yang pas untu dakwah moderat ditengah situasi literalisme akut ini? Pengajian ushul fikih tampaknya perlu menjadi alternatif. Ushul fiqih—mengutip Musthafa Abdul Razak—merupakan corak ‘filsafat’  yang lahir secara genuine dari kandungan ajaran Islam sendiri. Di dalam ushul fiqih inilah dicarikan ‘jalan tengah’  yang saling bersitegang antara teks dan akal, doktrin dan tradisi.

Jika dalam metodologi penelitian modern dikenal metode induktif, maka dalam ushul fiqih dikenal istilah al istiqra’ . Demikian juga yang disebut sebagai metode deskriptif analitis, eksperimental dan lain-lain, semuanya dapat ditemukan dalam istilah-istilah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqih, seperti  masalik al- ‘illah (pencarian sebab-sebab hukum), as sabr wa at taqsim (memilah dan mengklasifikasi hukum), takhrij al-manath (menyeleksi maksud hukum), tanqih al- manath (mengambil atau mengeluarkan maksud hukum) dan tahqiq al-manath  (menetapkan maksud hukum), dan lain-lain.

Ilmu ushul fiqih sendiri bertujuan untuk mengatur tata cara  pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil yang bersifat umum, dan juga mengatur metode ijtihad. Artinya, ushul fiqih hanya berkaitan dengan masalah-masalah amaliyah dan tidak berhubungan dengan masalah  i’tiqodiyah (teologi).

Ushul fiqih sebagai kerangka teoritik atau metodologi pengambilan hukum syar’i adalah salah satu produk pemikiran (intaj fikri)  kaum muslimin yang mempunyai urgensi sangat tinggi dalam kajian ilmu-ilmu Islam. Dengan ushul fiqih, seorang faqih mampu  berinteraksi dengan narasi-narasi yang terdapat pada teks (nash)  untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i dari padanya. Fungsi ushul fiqih sangat mirip logika dalam filsafat, oleh karena itulah korelasi keduanya sangat erat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan dalam berargumentasi, maka ushul fiqih mencegah seorang dari berbuat kesalahan dan penderivasian hukum. Oleh karena itulah, tidak berlebihan jika para ulama menjadikan ilmu ushul fiqih sebagai salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2008; .20).

Dalam perkembangannya ushul fikih tidak hanya menjadi sekedar metodologi penderivasian hukum (istidlal), akan tetapi juga sebuah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi. Misalnya dalam masalah qath’i dan dzanni, mutawatir dan ahad, yang merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan epistemologinya, sebab menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis, qath’i  berarti pasti, yakin, dan tidak mengandung keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan. Berbeda dengan dhanni yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti seperti qath’i. Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qath’i atau dzanni tergantung pada sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qath’i, maka dengan sendirinya ilmu yang dihasilkan juga bersifat qath’i (pasti dan yakin). Dan begitu juga sebaliknya, bila sumbernya diragukan, maka ilmu yang disandarkan kepadanya sudah tentu diragukan juga (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2008; 21).

Bagaimana Tasawuf? Tasawuf memang sering mendapatkan kritikan dan tuduhan menyakitkan. Dikalangan kelompok-kelompok Islam puritan menganggap tasawuf sebagai bid’ah atau khurafat yang menyesatkan seperti kita lihat dengan kemunculan kelompok Islam radikal-puritan/Salafi-jihadi.

Padahal bila membaca sejarah, banyak para sufi yang justru memajukan peradaban Islam. Para sufi dikenal dengan keilmuannya yang ensiklopedis. Kita bisa sebutkan seperti Sahl al-Tusturi, sufi yang ahli tafsir. Ibnu Arabi, sufi yang mengedepankan tasawuf-falsafi dikenal pula sebahai ahli hadits. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai mujtahid juga sosok pengamal tasawuf. Ibul Farid dan Fariduddin Aththar adalah dua figur sufi yang luas dikenal sebagai sastrawan.

Seperti disebut oleh Abu Nashr Assaraj dalam kitabnya al-Luma’, Abu Hasyim dikenal sebagai ensiklopedis, pengembang teori zuhud, wara’ dan tawakal yang lahir dari lingkungan madzhab sunni dan juga ahli menulis puisi.  Imam Sufyan al-Tsauri bahkan baru memahami riya’ dari Abu Hasyim yang mempunyai semacam kaidah “ada’ al-amal li ajli al-nas syirkun, wa tarkuhu li ajli al-nas riya’un”, menjalankan amal karena manusia adalah syirik dan meninggalkannya karena manusia adalah riya’.

Bagi kaum sufi, apapun zamannya atau apapun bergejolaknya dunia akan dihadapi dengan jernih, objektif dan tenang. Dalam ungkapan al-Junaid, “al-Shufi Ibnu waqtin”. Justru kaum sufi yang terbiasa dengan kehidupan nyata, walau hatinya telah melampaui kenyataan lahiriah, akan menempatkan dinamika kehidupan pada tempat yang proporsional. Tak heran, bila Abu A’la al-Afifi, menyebut tasawuf sebagai ‘revolusi spiritual” (tsaurah al-ruhiyyah).

Jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme, cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.

Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani:”Sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”. 

Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah” yakni segebung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul. 

Namun, juga bukan aneh, kita saksikan sufisme yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstrimitas. Sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umawiyah di Damaskus.
Tentu sangat berbeda, bila gerakan keagamaan yang muncul dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ektrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstrimisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.   
    
Menjadi Jihadis Literasi                  
Nah, paparan acakadul ini setidaknya ada yang ingin saya haturkan bahwa ushul fikih dan tasawuf menjadi dua disiplin ilmu keislaman yang saat ini sudah waktunya digalakkan melalui pengajian. Pentingnya kedua disiplin ilmu tersebut adalah mampu membawa pada alam berpikir yang moderat. Dalam hal ini, ushul fikih bertugas ‘menata ulang’ pola pikir masyarakat untuk mampu menyadari betapa memahami semesta ajaran Islam tidak bisa instan agar menjauhi ekstrem. Sementara, tasawuf bertugas ‘mendetox’ jiwa manusia dari segala sifat tercela seperti dendam, kebencian, kekerasan dll dan berpuncak pada sikap yang arif, toleran dan saling cinta mencintai antar sesama (al’uns baina al-nas)
Tentu banyak kitab ushul fikih maupun tasawuf yang bisa dikaji dalam pengajian. Khazanah pada masyarakat Aswaja sungguh sangat kaya dengan kitab klasik, dari yang jilidannya model ‘khorasan’ , cetakan Toha Putera, cetakan Pathuk Kediri, Sarang, Lirboyo, dll sampai yang jilidan ala Libanon yang ‘wah’. Kita bisa pilih kitab al-Waraqot, Jam’ul Jawami’ misalnya untuk pengajian ushul fikihnya. Untuk tasawuf mungkin bisa kitab dari mulai Tanbihul Ghafilin, Qami’ al-Thugyan, Minah al-Saniyah hingga Ihya Ulumudin dan al-Hikam. Begitupun cara penyajiannya bisa model tradisional seperti Sorogan atau Bandongan, ataupun model agak  ‘milenial’. Ini mungkin tergantung sasarannya, generasi ‘Jenial’ atau generasi ‘Jadul’. Mungkin juga kitab-kitab ‘babon’ di bidang tasawuf khususnya kayak al-Hikam atau Ihya bisa di ‘daur ulang’  dengan misalnya dibuat komik dan lainnya. Saya kira banyak kreasi yang bisa dihadirkan. 

Ala kulli hal, gerakan membangun masyarakat Muslim inklusif berbasis masjid ini semoga akan menjadi amaliyah untuk ikut mencegah masyarakat dari ancaman ekstremisme (Preventing Violence Extremism/PVE) serta upaya memoderasi terhadap masyarakat melalui produksi wacana tanding berbasis kitab klasik (Counter Violence Extremism/CVE). Kita yakin, melalui literasi bisa membawa pada keterbukaan wawasan dan kecerdasan sehingga menjadi kritis dan tidak mudah terbawa arus menyimpang.

Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi untuk eks napiter



Tidak ada komentar