PWNU Banten News

Akankah Jamaah Anshorud Daulah (JAD) Tamat?

Akankah Jamaah Anshorud Daulah (JAD) Tamat?
Oleh: Soffa Ihsan
Teror di Indonesia mencapai babak baru. Untuk membangun sebuah organisasi dengan sayap militer yang kuat sudah mustahil. Kita tahu kamp paramiliter terakhir ada di Jantho Aceh yang belum sempat beroperasi karena keburu dibongkar aparat pada 2010. Para militan kini bergerak secara mandiri dan sporadis tanpa ada sentralisasi rantai komando.
Penangkapan secara massal terhadap anggota JAD dan juga JI oleh aparat di Indonesia, menyisakan pertanyaan akankah kelompok JAD menurun atau bahkan tamat riwayatnya? Tulisan ini adalah sebentuk forecasting terhadap eksistensi dan dinamika sebuah kelompok teroris  yang dikenal nekat dan brutal tersebut.

Al-Qaeda, JI  dan JAD
Kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia dan dunia sebelum kemunculan ISIS, banyak dikaitkan dengan Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI). Tampaknya ada pergerseran keterkaitan teroris Indonesia dari Al-Qaeda ke ISIS dan dari JI ke JAD. JAD diidentifikasi berafiliasi dengan ISIS, sedangkan JI merupakan jaringan terorisme globalnya Al-Qaeda. Kelompok teroris JI terlatih di berbagai medan, dari Afghanistan, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Dalam skala global, terdapat perbedaan antara Al-Qaeda dan ISIS yang turut mempengaruhi pola serangan yang dilakukan JI dan JAD. Perselisihan antara ISIS dan Al Qaeda lebih dari sekedar perebutan kekuasaan dalam gerakan jihadis. Kedua organisasi berbeda pada penentuan musuh utama, strategi, taktik, dan masalah mendasar lainnya.

Al-Qaeda berorientasi jihadisme global dan menyukai serangan-serangan besar dan dramatis terhadap sasaran-sasaran strategis atau simbolis. Serangan di WTC dan Pentagon pada 9/11 adalah yang paling menonjol. Sementara ISIS berkembang dari perang sipil di Irak dan Suriah, dan taktiknya mencerminkan konteks ini. ISIS berusaha untuk menaklukkan wilayah untuk pendirian suatu “Islamic State”, dan dengan demikian ia menyebarkan artileri, kekuatan massa dan bahkan tank saat menyapu ke daerah-daerah baru atau mempertahankan daerah yang sudah direbut. Terorisme dalam konteks ini, adalah bagian dari perang revolusioner. Ia digunakan untuk merusak militer, memicu reaksi konflik sektarian atau menciptakan dinamika yang membantu penaklukan di suatu wilayah.
Perbedaan-perbedaan di atas turut mempengaruhi karakter JI dan JAD di Indonesia.

Pengalaman tempur di medan-medan perang yang beragam membuat aksi-aksi teror JI bukan hanya lebih cermat, melainkan juga memiliki daya rusak yang luar biasa tinggi. Serangan Bom Bali I dan II yang dilakukan JI berdaya ledak lebih tinggi dibandingkan teror di Surabaya yang menggunakan bom pipa. Bom Bali I, misalnya, dengan berat 6 ton berhasil menewaskan 202 orang. Serangan yang dilakukan oleh JI lebih mematikan daripada yang dilakukan oleh JAD. Pasca dihancurkannya sebagaian besar kekuatan Al-Qaeda oleh AS pada skala global, dan melemahnya aksi JI pasca tewasnya para pemimpin JI seperti Azhari dan Nurdin M Top, posisi dominan JI mulai digantikan oleh JAD.

Pergerseran ini sesungguhnya merupakan refleksi dari pergeseran pada level global. Pasca kemunculan ISIS, sejumlah kelompok jihadis, dan bahkan beberapa anggota afiliasi resmi Al-Qaeda, secara terbuka menyatakan dukungan untuk al-Baghdadi dan ISIS, meskipun mereka tidak meninggalkan Al-Qaeda sepenuhnya. Saat ini, bahkan Al-Qaeda bangkit kembali di Suriah. Muncul kelompok Hurras al-Din, pecahan dari kelompok Hayat Tahrir al-Syam yang sebelumnya bernama Fatah al-Syam dan Barisan al-Nusro. Mereka pecah karena menolak pandangan pemimpin Muhammad al-Julani yang lebih moderat dan pragmatis. Kelompok Hurras al-Din ini disebut-sebut merekrut banyak anggota ISIS yang kabur setelah ISIS tumbang di Irak dan Suriah.

Perdebatan antara kedua kubu teroris itu bisa disebut sebagai “jihad vs jihad”, karena baik Al Qaeda maupun ISIS adalah kelompok yang sama-sama mengampanyekan ajaran jihad melaui terorisme, kendati keduanya berselisih soal takfir. Hal ini mengindikasikan tidak semua kelompok teroris itu sepaham. Karenanya, anggapan semua teroris itu sama tidak terbukti dengan adanya perselisihan tersebut.

Setelah JAD muncul, aksi teror selain lewat jalur lone wolf terrorism, perubahan yang terjadi pada terorisme tahun 2010-2018 adalah perubahan sasaran teror. Sasaran aksi terorisme tidak lagi simbol-simbol Barat, melainkan justru masyarakat sipil, aparat keamanan, terutama kepolisian. Kemunculan JAD tidak merubah fenomena ini. JAD tetap menyasar masyarakat sipil dan polisi.

Dinamika dan Stagnasi
Di era struktur sel non-hierarki yang didesentralisasi yang mampu mengeksploitasi teknologi informasi dan alat-alat globalisasi, ada kegelisahan baru untuk melakukan pendekatan lain dalam memotret jaringan teroris. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti terorisme telah mulai memberikan perhatian yang lebih besar pada pertanyaan bagaimana kelompok teroris reda atau berakhir. Fokus ini—kendati masih belum terlampau banyak—telah menjadi minat yang semakin besar untuk memahami sebagian dari pertanyaan tentang bagaimana kampanye teroris menurun.

Lazimnya, banyak yang melihat pada bagaimana sekelompok organisasi teroris mampu bertahan dan terus melakukan aksinya sekalipun secara mandiri. Misalnya al-Qaeda yang terus bermetamorfosis dengan berbagi ideologi dan bekerja sama satu sama lain. Al-Qaeda mampu menaburkan ‘virus’ militansinya yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok teroris seperti, Front Islam Internasional untuk Jihad melawan Yahudi dan Tentara Salib, juga kelompok-kelompok dari Aljazair, Bangladesh, Mesir, dan Pakistan. Berbagai kelompok yang terhubung dalam beberapa cara termasuk Front Pembebasan Islam Moro (Filipina), Jamaah Islamiyah (Asia Tenggara), Jihad Islam Mesir (yang bergabung dengan al-Qaida pada tahun 2001), al-Ansar Mujahidin (Chechnya), Jama'ah al-Islamiyya Mesir), Gerakan Islam Uzbekistan, kelompok Salam di Aljazair, serta Harakat ul-Mujahidin di Pakistan dan  Kashmir. Para jawara al-Qaeda mampu menjalin hubungan yang kuat terutama dengan kelompok-kelompok yang sebelumnya berfokus pada lokal.

Pertanyaan tentang bagaimana gerakan Jamaah Anshorud Daulah (JAD) berakhir agaknya penting untuk mengaitkan dengan memahami tentang dinamika terorisme secara umum yang didalamnya terdapat kelompok teroris lainnya. Selama ini, pertanyaan tentang bagaimana penurunan kelompok-kelompok teroris tidak dipelajari dengan cermat, dan penelitian yang ada hampir tidak tersentuh. Dalam konteks JAD di Indonesia, aparat keamanan fokus pada penangkapan individu maupun jaringan JAD, baik yang beraksi langsung maupun yang terkait dengan jaringan JAD sebagai tujuan utama dalam kampanye melawan JAD. Padahal, penting pula untuk berkonsentrasi pada akar penyebab terorisme dan mendesak kebijakan yang akan menggeser pada kematian JAD.

Menarik untuk membandingkan studi Assaf Moghadam (2012), dalam studi kasus penurunan RAF (Red Army Faction), kelompok teroris di Jerman, termasuk mengapa dan berapa banyak anggotanya yang berlepas diri dari terorisme. Dalam penelitian Moghadam, ternyata hanya sebagian kecil anggota RAF yang secara sukarela memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan terorisme. Mayoritas besar anggota RAF ditangkap, dibunuh, atau dikomandoi untuk melakukan perampokan dengan cara yang tidak wajar. Memang, alih-alih mengakhiri kegiatan terorisme mereka, banyak anggota dari RAF begitu berdedikasi pada tujuan mereka sehingga mereka tampaknya rela mati untuk itu. Ini terbukti dari banyak kasus dimana anggota RAF melawan polisi setelah ditangkap. Meskipun sejumlah anggota RAF meninggalkan kekerasan di penjara, sebagian lainnya lainnya memilih untuk bunuh diri.
Pertanyaan mengapa beberapa teroris bertahan setidaknya sama pentingnya, seperti pertanyaan mengapa beberapa dari mereka berhenti? Alasan utama untuk berakhirnya terorisme generasi pertama RAF—begitu temuan Assaf Moghadam (2012)--adalah karena upaya-upaya penanggulangan terorisme yang berhasil dari polisi Jerman. Dalam waktu kurang dari dua tahun pembentukan RAF pada Mei 1970, sebagian besar anggotanya telah ditangkap, termasuk semua anggota terkemuka generasi pertama. Paling tidak tiga individu dari generasi pertama yaitu Beate Sturm, Ulrich Scholze, dan Peter Homann memutuskan untuk meninggalkan “kehidupan dalam ilegalitas”, sebagaimana mereka menyebutnya, sebelum mereka ditangkap. Namun, ada dinamika interpersonal dan organisasi berperan dalam keputusan pentolan RAF ini untuk meninggalkan terorisme.

Dalam kasus apapun, evolusi dari kesadaran politik pembentukan kelompok teroris ke pelaksanaan serangan teroris adalah proses yang kompleks. Beberapa langkah dalam proses ini dapat berupa aksidental atau oportunistik. Demikian juga, proses menurunnya kelompok teroris mungkin ditentukan oleh faktor bawaan seperti halnya oleh kebijakan atau faktor eksternal. Kelompok dapat membuat keputusan yang buruk, terlibat dalam strategi kontraproduktif, atau sekadar meledak. Ia mungkin juga memiliki tuntutan untuk bertindak misalnya, ia mungkin didorong untuk terlibat dalam serangan teroris untuk mempertahankan dukungan, untuk menopang integrasi organisasi, serta untuk mempertahankan keberadaannya yang berkesinambungan (Audrey Kurth Cronin; 2006)
Hal menarik, diantara kelompok teroris dengan latar belakang beragam, rentang masa hidup rata-rata kelompok teroris kontemporer yang termotivasi oleh agama, atau setidaknya kelompok yang menarik konsep agama sebagai kekuatan penggerak memiliki daya tahan yang luar biasa. Ini menunjukkan kekuatan daya tahan yang melekat dari motivasi yang sakral atau yang didasarkan pada spiritual (Audrey Kurth Cronin: 2006). Dalam kasus JAD menunjukkan bagaimana ídiologi ISIS memiliki daya tahan yang besar kendati sudah diluluhlantakkan oleh pasukan koalisi di Timur Tengah.

Menakar Variabel
Efek menangkap atau membunuh seorang pemimpin teroris sangat bervariasi tergantung pada variabel seperti struktur organisasi, apakah pemimpin menciptakan kultus kepribadian, dan kehadiran penerus yang layak. Terlepas dari apakah penangkapan pemimpin mengakibatkan kematian kelompok teroris, cara tersebut biasanya memberikan wawasan kritis tentang kedalaman dan sifat dukungan populer kelompok dan biasanya merupakan titik balik.

Ada beberapa alasan untuk percaya bahwa menangkap seorang pemimpin lebih efektif dalam merusak sebuah kelompok daripada membunuhnya. Tetapi bahkan penangkapan yang memalukan dapat mendukung jika pemimpin yang dipenjara terus melakukan komunikasi dengan kelompoknya. Aman Abdurrahman sebagai tokoh ‘idiolog’ dalam lingkaran JAD dihukum karena kasus bom Cimanggis dan kemudian berturut-turut kasus teror kasus Bom Thamrin, Kampung Melayu 2017, bom gereja Samarinda, serangan di Mako Brimob, serangan di Polda Riau, penusukan aparat di Markas Polda Sumatera Utara  dan juga bom gereja di Surabaya. Melalui ‘fatwa’- nya di dalam penjara, Aman Abdurrahman dipandang mempengaruhi aksi amaliyat dari personil JAD yang melakukan secara mandiri. Tidak sedikit Aman Abdurrahman berhasil mengindoktrinasi napi teroris sewaktu di penjara sehingga makin militan dan siap melakukan amaliyat teror. Contohnya Mukhtar Khoiri yang kini aktif di Rumah Daulat Buku (Rudalku) dihukum karena kasus Pelatihan Jantho Aceh sewaktu di Lapas Cipinang banyak mengaji ke Aman Abdurrahman. Dari hasil pertemuan tersebut, Mukhtar menjadi semakin radikal hingga dia tersadarkan oleh napiter lain yang lebih moderat untuk tidak terlibat dalam paham takfiri model Aman Abdurrahman.

Bagaimana dengan vonis mati untuk Aman Abdurrahman? Ini memang memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib JAD dan pergerakan aksi teror di Indonesia usai pendiri sekaligus imam bagi anggota organisasi yang didirikan pada 2015 itu? Memang banyak yang menyangsikan matinya JAD setelah matinya Aman Abdurrahman. Artinya, kelompok JAD akan tetap melakukan aksi teror meskipun pemimpinnya telah divonis mati. Mereka akan menunjuk pemimpin baru untuk menjaga keberlangsungan organisasi. Begitu Aman Abdurrahman dieksekusi akan muncul lagi penggantinya. Kelompok JAD pun tidak tertutup kemungkinan mengubah modus penyerangan yang akan dilakukan. Kemungkinan mereka akan mempraktikkan yang lebih keras. Misalnya melibatkan keluarga, anak-anak, perempuan, dan orang-orang yang selama ini tidak diduga sebagai prajurit.

Vonis mati untuk Aman mungkin tidak serta-merta menghentikan aksi teror. Tidak menutup kemungkinan aksi teror akan dilakukan kelompok lain yang seideologi dengan JAD, seperti kelompok Al Hisbah pimpinan Bahrun Naim, NII ring Banten, hingga kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Itu masih berserakan di banyak tempat dan potensial untuk melakukan aksi-aksi teror. Mungkin memang tidak semasif sebelumnya, tapi selama ini aksi teror kecil-kecilan, menembak polisi, bom panci dan sebagainya.

Vonis mati Aman Abdurrahman memang diprediksi akan membuat kelompok JAD mengalami stagnasi. Alasannya, banyak pemimpin JAD seperti M. Iqbal (JAD Jabar) dan Zainal Arifin Ansori yang notabene amir utama sedang mendekam di penjara. Namun, tidak menutup kemungkinan JAD akan pecah karena petinggi JAD, seperti Khalid Abu Bakar kemungkinan akan meninggalkan organisasi setelah Aman meninggal. Selain itu, kuatnya pemantauan aparat serta keterbatasan sumber daya akan membuat JAD tidak beraktivitas untuk sementara waktu. Ya, JAD mungkin lumpuh, kendati diyakini masih hidup dan  ‘mantul’.  Sebenarnya paska serangan bom Kampung Melayu yang menewaskan lima orang termasuk tiga anggota kepolisian, keberadaan JAD sudah terseok-seok. Puluhan anggota penting JAD telah ditahan sedangkan lainnya tewas. Setidaknya, dalam jangka pendek, JAD akan tiarap, dan tidak membentuk struktur seperti sebelumnya yang terbuka.

Organisasi yang tidak terstruktur dan bergerak sporadis seperti JAD ini justru lebih sulit dibasmi, ketimbang sebuah organisasi yang terstruktur seperti JI. Karena, para pendukung ISIS tersebut mungkin tidak pernah bertatap muka dengan pendukung ISIS lainnya. Dengan tidak adanya struktur organisasi yang mengikat justru akan menguntungkan sel-sel teror karena bisa bergerak bebas.

Berbeda dengan JI, amir JAD di daerah bisa leluasa melancarkan serangan teror tanpa harus melapor dan berkoordinasi dengan amir pusat. JAD Jawa Tengah yang dipimpin oleh Fauzan Mubarok diketahui merencanakan menyerang markas polisi di Tuban, Jawa Timur. Di Bima, NTB, anggota JAD pimpinan Abu Salma pada September 2017 melakukan penembakan terhadap seorang anggota polisi yang menyebabkan luka-luka. Semua serangan tersebut terjadi secara independen tanpa diketahui oleh petinggi JAD di pusat.
Struktur organisasi JAD diketahui ada di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Ambon, Nusa Tenggara Barat, dan Jabodetabek. Jumlah pasti pengikutnya sampai saat ini memang belum terdeteksi.

Kini, kebanyakan tokoh kunci JAD sudah ditangkap oleh Densus 88. Tapi masih banyak pula yang hingga saat ini belum ditemukan. Meski beberapa petinggi JAD sudah ditangkap, bukan berarti ancaman serangan akan hilang begitu saja. Kita tahu, JAD adalah kelompok pendukung ISIS terbesar, tapi ia tidak sendirian. Ada banyak kelompok kecil pendukung ISIS. Dan kapasitas regenerasi mereka sudah jelas. Ada beberapa kelompok seperti Khatibul Iman di Solo dan Jambi ada Al-Hawariyun yang terkoneksi dengan Suriah; dan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) di Bandung, Makassar, dan Riau. Kelompok tersebut mungkin terhubung secara ideologi dengan JAD, namun secara kepemimpinan, mereka bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya, ada kompetisi untuk melakukan amaliyah.

Penangkapan atau pembunuhan pemimpin organisasi teroris memang terbukti menjadi elemen penting dalam penurunan organisasi. Dari perspektif kontraterorisme, pembunuhan seorang pemimpin teroris dapat didukung dengan menciptakan publisitas yang meningkat untuk tujuan kelompok dan mungkin menjadikan pemimpin itu seorang martir yang akan menarik anggota baru ke organisasi atau bahkan organisasi berikutnya. Che Guevera adalah contoh paling terkenal dari fenomena ini. (Audrey Kurth Cronin ; 2006).

JAD menggunakan aksi teror sebagai jalan yang menurut mereka ‘sah’  demi mencapai tujuan. Melihat dari sisi perspektif ini, tujuan yang JAD hendak wujudkan belum terpenuhi, kendati militansi mereka tidak mengendur. JAD tidak seperti kelompok teroris berbasis separatis yang bisa duduk bersama dengan pemerintah setelah tujuan mereka dipandang berhasil. Disinilah, JAD masih sulit untuk diajak berkompromi oleh karena tujuan khilafah yang mereka usung jelas bertentangan dengan idiologi NKRI.

Kendati tujuan atau cita-cita yang diusung JAD belum tercapai atau memang ini merupakan cita-cita utopia, tetapi dengan restriksi melalui hukum maupun penggalangan masyarakat untuk menolak, eksistensi JAD akan menurun. Dengan kategori sebagai organisasi terlarang yang telah disahkan secara hukum oleh negara, langkah pencapaian tujuan JAD jelas sudah tertutup atau terkunci mati. Dan ini menjadi langkah untuk melihat secara berangsur penurunan dan bahkan kematian JAD di Indonesia.

Pembukaan negosiasi dapat menjadi katalis untuk penurunan atau berakhirnya kelompok-kelompok teroris, yang berpotensi memberikan pengaruh terhadap dampak negatif. Kelompok-kelompok harus ditransformasikan menjadi legitimasi politik dan menjauhi perilaku teroris setelah pembukaan resmi proses politik.

 Tetapi, skenario khas untuk penurunan kelompok teroris biasanya jauh lebih rumit daripada sekadar pengejaran atau pencapaian kesepakatan yang dinegosiasikan. Terlepas dari keberhasilan hasil negosiasi yang dapat dihasilkan antara partai-partai besar, efek umum dari proses politik adalah terpecahnya kelompok menjadi faksi yang mendukung negosiasi dan yang tidak.
Pemerintah RI akan menghadapi kesulitan besar ketika bernegosiasi dengan organisasi-organisasi teroris seperti JAD ini.  Didalam JAD sendiri bisa saja akan terpecah ketika diadakan semacam negorisasi, ada yang menolak dan mendukung. Kelompok-kelompok sempalan bilamana terjadi di dalam tubuh JAD seringkali lebih kejam daripada organisasi “ibu”, menanggapi keharusan untuk menunjukkan keberadaan mereka dan memberi tanda perbedaan pendapat mereka. Kelompok-kelompok sempalan dapat dilihat sebagai terlibat dalam "lapisan" terorisme baru sehubungan dengan kelompok asli atau pemerintah mereka sendiri.
Apakah mungkin negoisasi bagi JAD yang berfaham takfiri? JAD berpaham menolak demokrasi atau sistem perintahan yang dipandang tidak sesuai syariat. Mereka menolak hormat bendera merah putih dan juga menolak Pembebasan Bersyarat (PB) bagi napiter dikalangan mereka yang hendak diberi pembebasan. Karenanya, tawaran amnesti ini bagai simalakama. Kendati dalam proses yang terus berlangsung dengan melihat dinamika yang ‘cair’ dari JAD,  bisa saja tawaran ini menjadi langkah akhir untuk negosiasi dan rekonsiliasi sebagai sesama anak bangsa. Langkah amnesti memang lebih manusiawi. Tidak menutup kemungkinan sebagai langkah strategis  untuk ‘mematikan’  jejaring JAD.

Regenerasi dalam jejaring terorisme tak bisa diabaikan begitu saja. Tampilnya ‘pemimpin’  dalam jaringan terorisme berarti selalu ada  regenerasi yang berkesinambungan. Dalam kasus JAD, meski berbasis sel, dengan tiadanya sosok kepemimpinan yang dipandang mumpuni dalam bidang keagamaan seperti Aman Abdurrahman, bisa menjadi pukulan bagi keberlangsungan jaringan JAD. Dan ini, perlahan bisa menurunkan militansi pengikutnya sehingga jaringan menjadi berhenti. Prediksi ke depan paska Aman Abdurrahman tampaknya belum ada sosok yang dianggap mumpuni dan berwibawa dikalangan pengikut JAD. Dan ini akan menurunkan dinamikan jejaring JAD berikut memudarnya aksi-aksi JAD.
Kelompok-kelompok teroris adalah aktor strategis yang biasanya mempertimbangkan target mereka dan menghitung dampak serangan terhadap populasi konstituen mereka. Namun, perhitungan yang salah dapat merusak penyebab suatu kelompok, yang mengakibatkan anjloknya dukungan masyarakat dan bahkan kehancurannya. Kelompok teroris umumnya tidak dapat bertahan hidup tanpa dukungan aktif atau pasif dari masyarakat di sekitarnya. Contohnya warga mendukung dengan menyembunyikan anggota kelompok teroris, mengumpulkan uang, dan bahkan bergabung dengan organisasi teroris Dukungan pasif, lebih menyebar dan mencakup tindakan seperti mengabaikan tanda-tanda nyata kegiatan kelompok teroris, menolak untuk bekerja sama dengan penyelidikan polisi, mengirim uang ke organisasi yang bertindak sebagai front untuk kelompok, dan menyatakan dukungan untuk tujuan kelompok.

Dalam kasus JAD, sebenarnya mayoritas masyarakat tidak banyak yang mendukung. Proses ini sebagai ‘alamiah’ dimana kekuatan yang mengedepankan kekerasan di Indonesia tidak akan banyak menuai simpati. Mereka yang bersimpati kebanyakan yang sudah ‘terjerumus’  ke gerakan radikal dan terorisme. Ini memudahkan bagi kategori mereka ini yang bisa masuk di lingkaran JAD.

Di kalangan jihadis sendiri sudah terbelah pemahaman tentang amaliyat. Banyak diantara mereka yang sudah menganggap kekerasan dalam mewujudkan perjuangan tidak lagi efektif. Mereka menolak pandangan dan tindakan ISIS. Bahkan banyak diantara mereka yang memandang bahwa ISIS (JAD) adalah kelompok jihadis yang berlebihan (ghuluw) atau khawarij yang dalam sejarah Islam merupakan kelompok sempalan yang banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin saat itu. Berarti, ajaran kekerasan yang kebablasan ini jelas dilarang dalam ajaran Islam.  Mereka kemudian lebih memilih di jalur dakwah dengan mendirikan taklim-taklim yang bercorak Salafi. Dengan terbelahnya pandangan dikalangan jihadis ini berpotensi semakin mengurangi dukungan terhadap JAD.

Penggunaan kekuatan militer telah mempercepat penurunan atau mengakhiri sejumlah kelompok teroris. Dari perspektif negara, kekuatan militer menawarkan sarana yang tersedia yang berada di bawah kendalinya. Meskipun terorisme memang bisa dibilang sebagai bentuk perang, teroris menggunakan kekerasan asimetris. Dalam beberapa keadaan, ini juga berhasil.

Tindakan represif bisa juga berwujud melalui aspek hukum. Dalam kasus JAD sudah ada putusan hukum untuk melarangnya. Pengadilan sudah menetapkan bahwa Jamaah Anshar Daulah (JAD) melakukan tindak pidana terorisme karena organisasi yang diinisiasi oleh terpidana Aman Abdurrahman itu sering melakukan teror. Dengan dakwaan tersebut, maka masyarakat dilarang untuk bergabung dengan JAD. Apabila terbukti bergabung, maka orang tersebut bisa dikenakan hukuman pidana. Kendati faktanya JAD bukanlah satu-satunya organisasi teroris yang ada di Indonesia. Sebab, masih ada faksi-faksi kecil yang mungkin tidak terhubung dengan JAD.

Tindakan represif memang membawa biaya sumber daya dan peluang yang tinggi. Langkah-langkah represif jangka panjang terhadap tersangka operator terorisme JAD ini dapat melemahkan dukungan domestik dan menyaring tatanan negara itu sendiri. Lebih lanjut, tindakan represif dapat melemahkan kemampuan JAD untuk merespons secara efektif terhadap serangan teroris di masa depan.

JAD sebagai kelompok teroris memang bisa melakukukan apa saja demi mewujudkankan cita-cita jihadnya. Dengan kata lain, menghalalkan segala cara. Dan ini banyak dibuktikan kelompok-kelompok teroris lain seperti Abu Sayyaf yang menyeiringkan aksi terornya dengan perampokan dan penculikan. Dalam pandangan JAD misalnya—dan ini juga ada dalam pemikiran kelompok teroris lainnya di Indonesia—seperti konsep fa’i  telah dijadikan sebagai alat untuk menghalalkan cara demi pendanaan aksi terornya. Pendanaan melalui konsep ini sudah terbukti terjadi di Indonesia sejak Imam Samudra melakukan perampokan toko emas di Serang dan juga kasus perampokan bank CIMB di Medan. Selain pembunuhan, pemboman atau aksi kekerasan lainnya yang jelas dihalalkan oleh JAD terhadap mereka yang dipandang sebagai kafir atau thoghut, perampokan sangat mungkin terjadi dengan dalil syariat. Kendati demikian, untuk beralih menjadi kelompok kriminal, JAD tentu masih menimbang. Alasannya, JAD bertumpu pada cita syariat yang mereka yakini untuk tegaknya khilafah atau syariat Islam secara total. JAd hanya menjadikan aksi kriminalitas sebagai bagian dari pandangan mereka tentang syariat. Mereka mencarikan legitimasi syariatnya saja, dan tidak mengalihrupakan kelompok mereka misalnya sebagai geng kriminal. Terorisme dan kriminalitas memang tidak sama, tetapi mereka terkait. Gerakan seperti JAD sudah terbukti menghalalkan segala cara. Dan aksi pendanaan bisa saja dilakukan dengan jalan kriminal.

Lalu bagaimana?
Perang melawan terorisme mungkin abadi, tetapi perang melawan JAD bisa saja akan berakhir. Meskipun jaringan JAD dalam banyak hal berbeda dari para pendahulunya, terutama dalam kemampuan untuk mengubah dirinya dari fisik ke organisasi virtual, itu tidak sepenuhnya tanpa preseden. JAD mungkin saja berbagi elemen kontinuitas dan diskontinuitas dengan kelompok-kelompok teroris lainnya.

Orang-orang yang mendukung terorisme tidak melulu memerlukan suatu organisasi dengan struktur kaku. Dalam artian, mereka bisa bergerak secara independen tanpa harus mengambil bagian dalam tugas-tugas di dalam organisasi. Kelompok teroris lebih merasa disatukan oleh satu ideologi dibandingkan disatukan oleh sebuah organisasi. Para pendukung JAD sejak awal sudah tidak terlalu peduli dengan organisasi, mereka bisa bergerak tanpa ada organisasi.

Nah, kebijakan kontraterorisme yang kuat harus didasarkan pada berbagai pelajaran sejarah tentang kebijakan mana yang berhasil, dan dalam kondisi apa, untuk mempercepat penurunan dan kematian terorisme. Memperlakukan JAD seolah-olah sui generis adalah sebuah ketidaktepatan. Meskipun ada aspek unik dari ancaman yang tiba-tiba dijalankan oleh JAD, ada juga koneksi dengan ancaman sebelumnya. Berbicara tentang ancaman "jihadis" yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara bisa dibilang beresonansi dalam konteks domestik, hanya melanggengkan citra dan romantisme sesat dari gerakan JAD, membuat ideologinya lebih menarik bagi calon yang direkrut.

Terorisme, seperti perang, mungkin saja tidak pernah berakhir. Ada kampanye teroris individu dan kelompok-kelompok yang selalu melakukannya. Deklarasi perang melawan terorisme oleh pemerintah telah membawa konsep samar tentang tahap pengakhiran JAD daripada peta jalan yang meyakinkan untuk bagaimana hal itu akan dikurangi ke tingkat ancaman kecil. Tak pelak, ancaman JAD nyata dan tidak dapat disangkal. Upaya melanjutkan pendekatan ahistoris untuk mendorong kematian JAD adalah proses yang masih panjang. Karenanya, perlu langkah yang efektif, jangan sampai terjadi pemborosan kekuatan.

Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi untuk Eks Napiter.

Tidak ada komentar